TENTANGPUAN.com – Di era digital, kampanye body positivity kian gencar digaungkan di berbagai platform media sosial. Gerakan ini mendorong anak muda untuk menerima bentuk tubuh dan penampilan mereka tanpa harus tunduk pada standar kecantikan yang kaku. Selebriti dan influencer lokal pun banyak yang ikut mengampanyekan pesan self-love, mendorong narasi bahwa setiap tubuh itu layak dihargai.
Namun, paradoksnya, di saat yang sama, standar kecantikan konvensional–kulit mulus, tubuh ramping, wajah simetris–terus dipertontonkan dan dijual oleh industri kosmetik serta figur publik digital.
Iklan skincare, tren filter wajah di media sosial, hingga algoritma yang mengedepankan visual “sempurna” membuat narasi penerimaan diri tak semudah yang dibayangkan. Banyak anak muda terjebak dalam tekanan ganda: ingin mencintai diri, tapi merasa harus tetap “laik tampil” agar diterima sosial.
Survei yang dilakukan oleh Jakpat Research (2023) mengungkap bahwa 64% perempuan muda usia 18–25 tahun di Indonesia mengaku merasa tertekan untuk tampil menarik secara fisik akibat paparan konten media sosial. Bahkan, 47% dari mereka menyatakan bahwa mereka pernah merasa tidak percaya diri setelah membandingkan diri dengan influencer atau artis yang mereka ikuti.
Sementara itu, laporan Yayasan Remotivi dan Cipta Media (2021) mencatat bahwa televisi dan iklan digital di Indonesia masih sangat sedikit menampilkan keberagaman tubuh, terutama tubuh gemuk, kulit gelap, atau individu dengan kondisi kulit tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa representasi media belum mencerminkan realitas masyarakat yang beragam, dan justru memperkuat standar kecantikan dominan.
“Dari luar mungkin terlihat saya percaya diri. Tapi setiap kali unggah foto, saya tetap merasa harus pakai filter, atau edit jerawat dulu,” kata Dina (23), mahasiswi di Kotamobagu.
Ia mengaku kerap dilanda kecemasan sosial jika tampil tanpa riasan, meski di rumah ia berusaha membangun kebiasaan mencintai diri sendiri.
Di tengah tekanan ini, edukasi literasi digital dan kampanye representasi inklusif menjadi langkah penting untuk menyeimbangkan narasi.
Anak muda perlu didukung untuk membedakan antara realitas dan konstruksi digital, serta memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh validasi visual. Sebab tanpa kesadaran itu, body positivity hanya akan jadi jargon yang tak mampu membebaskan.