TENTANGPUAN.com – Selama ini, dalam sejarah konflik bersenjata, perempuan sering digambarkan semata sebagai korban kekerasan atau pelengkap narasi perang laki-laki. Padahal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa peran perempuan jauh lebih kompleks.
Mereka tidak hanya menjadi pihak yang terdampak, tetapi juga memegang posisi penting sebagai pejuang di medan tempur, penjaga kehidupan di tengah reruntuhan, hingga agen perdamaian dalam proses rekonstruksi pascaperang.
Laporan Geneva Centre for Security Policy (GCSP) tahun 2020 menunjukkan bahwa dalam konflik modern, khususnya di kawasan Timur Tengah dan Afrika, perempuan mulai melampaui peran tradisional.
Kelompok milisi perempuan seperti YPJ (Unit Perlindungan Perempuan) di Suriah, misalnya, menunjukkan bagaimana perempuan secara aktif memegang senjata, memimpin operasi militer, dan melawan kelompok ekstremis seperti ISIS.
Fakta ini menantang konstruksi lama yang menganggap perang sebagai domain eksklusif laki-laki, sekaligus membuka ruang baru bagi pemahaman atas kapasitas perempuan dalam situasi ekstrem.
Di sisi lain, kerentanan perempuan tetap tinggi dalam konflik bersenjata. Riset UN Women tahun 2022 menyoroti bagaimana perempuan kerap menjadi korban pengungsian paksa, kekerasan berbasis gender, dan eksploitasi seksual yang dijadikan senjata perang.
Namun, riset ini juga menegaskan potensi besar perempuan dalam proses perdamaian. Partisipasi perempuan dalam perundingan damai terbukti meningkatkan peluang tercapainya perdamaian yang berkelanjutan hingga 35 persen dibanding proses yang didominasi laki-laki.
Ini menjadi bukti bahwa pelibatan perempuan bukan sekadar kebutuhan representasi, melainkan kebutuhan strategis dalam membangun masa depan pascakonflik yang lebih stabil dan inklusif.
Sayangnya, peran ganda perempuan ini belum sepenuhnya diakui dalam kebijakan pertahanan maupun dalam narasi media global. Perempuan masih kerap diposisikan sebagai “korban perang” semata, padahal mereka juga aktor penting dalam perdamaian.
Pendekatan baru yang lebih konstruktif perlu dikembangkan, termasuk dengan memperluas ruang keterlibatan perempuan dalam proses-proses formal perdamaian dan rekonstruksi.
Dengan demikian, membangun pemahaman baru tentang perempuan di medan konflik bukan hanya soal keadilan gender, tetapi juga soal efektivitas dan ketahanan sosial di tengah dan pascaperang.
Sumber:
Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Women in Armed Groups in the Middle East and Africa: Beyond Victims and Perpetrators, 2020.
UN Women, The Role of Women in Peace Processes and Post-conflict Reconstruction, 2022.