Stigma yang Tidak Adil dan Bias Gender dalam Kasus Perselingkuhan

Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com).
Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com).

TENTANGPUAN.com -Kasus perselingkuhan sering kali memunculkan kontroversi, khususnya ketika perempuan yang terlibat dalam hubungan terlarang diberi label “pelakor” atau perebut laki orang. Sebutan ini tidak hanya membawa stigma sosial yang berat, tetapi juga mencerminkan bias gender yang mengakar kuat di masyarakat.

Dalam banyak kasus, perempuan yang terlibat perselingkuhan lebih sering dipojokkan dan mendapatkan intimidasi dibandingkan laki-laki yang seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama besar. Hal ini memperlihatkan bagaimana struktur sosial dan norma budaya yang patriarkis memberikan kebebasan lebih kepada laki-laki, sementara perempuan dijadikan sasaran utama penghakiman.

Bias Gender dan Patriarki dalam Kasus Perselingkuhan

Salah satu penyebab utama ketidakadilan ini adalah stereotip gender yang masih dominan. Perempuan sering kali dipandang sebagai simbol kesucian dan penjaga moralitas keluarga, sehingga setiap tindakan yang dianggap melanggar norma tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat. Di sisi lain, laki-laki yang berselingkuh cenderung dimaklumi, dengan alasan seperti “godaan” atau “kesalahan sesaat.”

Struktur patriarkis yang mengakar juga memperkuat ketimpangan ini. Dalam sistem ini, laki-laki memiliki posisi yang lebih tinggi dan sering kali dianggap bebas menentukan pilihan, termasuk dalam hubungan. Sementara itu, perempuan yang dianggap menyimpang dari norma sosial segera dihukum, baik secara verbal, emosional, maupun sosial.

Dampak Stigma “Pelakor” terhadap Perempuan

Sebutan “pelakor” membawa dampak psikologis yang berat bagi perempuan. Mereka kerap mengalami stres, depresi, dan kecemasan akibat intimidasi yang mereka terima. Tidak jarang, perempuan yang mendapat label ini juga kehilangan dukungan sosial dan menjadi terisolasi dari lingkungan sekitarnya.

Lebih jauh lagi, stigma ini memperpetuasi diskriminasi terhadap perempuan secara keseluruhan. Alih-alih membahas tanggung jawab bersama dalam perselingkuhan, fokus masyarakat hanya tertuju pada perempuan sebagai pihak yang bersalah. Hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat upaya menciptakan kesetaraan gender yang sejati.

Solusi untuk Menghapus Stigma

Langkah pertama yang dapat diambil adalah meningkatkan kesadaran gender melalui pendidikan. Masyarakat perlu memahami bahwa hubungan yang melibatkan perselingkuhan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya salah satu pihak.

Selain itu, kebijakan anti-diskriminasi perlu diperkuat untuk melindungi hak-hak perempuan dari intimidasi dan penghakiman sosial. Media juga memegang peran penting dengan tidak ikut memperkuat stereotip melalui pemberitaan atau istilah-istilah yang merendahkan.

Refleksi budaya menjadi langkah penting lainnya. Norma-norma yang mendiskriminasi perempuan harus dievaluasi dan diubah agar tidak terus-menerus memberikan beban lebih kepada mereka. Dalam konteks ini, sebutan seperti “pelakor” perlu dipertanyakan ulang, karena tidak hanya bias tetapi juga tidak netral.

Menghapus stigma “pelakor” bukan hanya soal membela perempuan yang terlibat dalam perselingkuhan, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih adil. Dengan mengubah cara pandang kita, diharapkan tidak ada lagi pihak yang menjadi korban stigma akibat bias gender yang tidak seimbang.

Penulis: Larasati Dondo