TENTANGPUAN.com – Sejumlah kritik dan pertanyaan tentang komitmen serta kehadiran nyata Pemerintah Kota Kotamobagu dalam isu-isu perempuan mengemuka dalam diskusi publik bertajuk Perempuan Berdaya dan Struktur Sosial.
Kegiatan ini digelar oleh Perempuan Bangsa bekerja sama dengan PKK Kotamobagu, Kamis (12/6/2025) di Kantor DPRD Kotamobagu.
Founder Tentangpuan.com, Neno Karlina, menilai bahwa forum ini menjadi ruang pertama yang terbuka bagi akar rumput, setelah sekian lama pembahasan soal perempuan hanya terjadi di forum-forum internal pemerintah tanpa melibatkan langsung kelompok sasaran.
“Selama ini, mungkin ini kali pertama PKK Kotamobagu mengadakan diskusi terbuka seperti ini. Biasanya rakor dan sebagainya dibahas sendiri tanpa melibatkan akar rumput, sehingga persoalan perempuan kerap ditindaklanjuti dengan tidak tepat,” tegas Neno.
Tak hanya itu, Neno juga menyoroti belum adanya rumah aman yang disediakan pemerintah bagi para penyintas kekerasan seksual. Menurutnya, pendampingan yang dilakukan selama ini belum menyentuh aspek perlindungan menyeluruh.
“Sekarang apakah pemerintah menyediakan rumah aman? Sebab selama ini para penyintas ini hanya didampingi begitu saja tanpa memastikan keamanan mereka,” ujarnya.
Sorotan terhadap situasi darurat kekerasan seksual di Kotamobagu juga disampaikan oleh salah satu peserta diskusi asal Kecamatan Kotamobagu Timur. Ia menilai pemerintah masih abai terhadap kasus-kasus yang terus bertambah setiap tahun.
“Sekarang ada ratusan kasus yang masih belum terselesaikan di tahun berjalan. Sehingga diskusi seperti ini sangat penting untuk mendorong perhatian serius,” katanya.
Diskusi ini menghadirkan dua narasumber lain, yaitu Founder Inde Dou Institute, Rahmi Hatani dan perwakilan Perempuan Bangsa, Suci Sultan. Rahmi mengupas tuntas persoalan struktur sosial yang selama ini membatasi ruang gerak perempuan serta menghalangi akses yang setara dengan laki-laki.
“Lingkungan yang kita bangun selama ini mendorong perempuan tetap berada di lingkaran domestik. Ini membuat akses mereka terhadap sumber daya publik, pendidikan, bahkan ekonomi menjadi terbatas,” jelas Rahmi.
Sementara itu, Suci Sultan menyoroti minimnya keterwakilan perempuan di parlemen Kotamobagu. Dari 25 kursi di DPRD Kotamobagu, hanya empat kursi yang diisi oleh perempuan.
“Di Kotamobagu saja dari 25 kursi DPRD, perempuan hanya mengisi 4 kursi saja. Sebab perempuan kebanyakan hanya dilihat dari jenis kelamin, bukan dari kemampuan mereka dalam mengolah kebijakan,” ungkap Suci.
Ia mempertanyakan bagaimana kebutuhan dan kepentingan perempuan dapat diakomodir jika ruang pembuat kebijakan masih didominasi laki-laki.
“Kalau seperti ini, bagaimana kebutuhan perempuan Kotamobagu bisa diakomodir jika yang membahas justru lebih banyak laki-laki,” tambahnya.
Sayangnya, Ketua TP PKK Kotamobagu, Rindah Mokoginta harus meninggalkan lokasi diskusi sebelum diskusi berlangsung. Sementara pihak DP3A Kotamobagu juga tidak hadir, namun para peserta diskusi sepakat bahwa untuk menciptakan kota yang ramah perempuan dan anak, diperlukan keterlibatan aktif semua pihak, terutama pemerintah, dalam mengatasi akar persoalan mulai dari penyediaan rumah aman hingga mendorong keterwakilan perempuan di parlemen.