Lebaran atau Hari Raya Idulfitri adalah momen yang sangat di tunggu-tunggu umat islam di seluruh dunia. Pada lebaran, orang-orang akan bersuka cita merayakan hari kemenangan setelah sebulan melaksanakan ibadah puasa Ramadan.
Kemeriahan dan kemegahan suasana lebaran tergambar pada kebersamaan. Keluarga-keluarga akan berkumpul berhimpun menjadi keluarga besar. Keluarga, karib kerabat akan bersilaturahmi, saling maaf-memaafkan.
Meski tak semua merasakan, sesungguhnya bagi beberapa perempuan lebaran adalah kebahagiaan sekaligus tantangan tersendiri. Masing-masing perempuan memiliki tantangan yang berbeda dalam menghadapi tradisi dan paradigma sosial yang mengarah pada status mereka sebagai perempuan.
Bagi anak-anak perempuan, lebaran penuh dengan suka cita. Kembang api, kue, dan makanan khas lebaran, mewarnai hari kemenangan. Baju baru dan lapis salam atau uang lebaran dari orang yang lebih tua tentu sangat menggembirakan.
Tetapi perempuan lajang, lebaran adalah momen di mana pertanyaan seputar pasangan, kapan kawin, kerap jadi pertanyaan atau barangkali sekadar candaan yang horor. Hal tersebut santer terasa terutama ketika seorang perempuan memasuki usai 30 tahun.
Tak cukup sampai di situ, nyatanya perempuan yang sudah menikah tidak luput dari tantangan pertanyaan lebaran. Pertanyaan soal momongan juga kerap menjadi sesuatu yang horor bahkan menekan mental perempuan saat kumpul keluarga.
Padahal, sejatinya lebaran adalah momentum untuk mempererat silaturahmi dan menebar kebahagiaan bagi semua umat muslim, tidak terkecuali dengan perempuan. Sudah menikah atau belum, sudah memiliki momongan atau belum, bukanlah esensi yang sebenarnya dari kumpul-kumpul. Biarkan perempuan bebas mengekspresikan perasaan bahagianya saat lebaran. Berhenti menebarkan aroma intimidasi. Perempuan bebas memilih, perempuan bebas menjadi–apa yang dia ingini.