TENTANGPUAN.COM – Dalam memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung setiap 25 November hingga 10 Desember, isu kekerasan berbasis gender tidak lagi terbatas pada ruang fisik.
Di era digital, kekerasan terhadap perempuan mengambil bentuk baru yang semakin kompleks, seperti perundungan siber, doxxing, revenge porn, hingga eksploitasi melalui media sosial. Di tengah kondisi ini, perempuan dituntut lebih kritis dan sadar akan risiko serta potensi yang dihadirkan dunia digital.
Perempuan dan Kekerasan Digital
Laporan dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender online (KBGO) meningkat seiring dengan masifnya penggunaan internet. Perempuan sering menjadi target pelecehan, ancaman, hingga penyebaran konten pribadi tanpa izin.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana teknologi dapat menjadi alat untuk memperkuat struktur patriarki yang menindas perempuan.
“Di era digital, kekerasan tidak lagi terlihat secara kasat mata, namun dampaknya sangat nyata. Perempuan harus lebih kritis dalam memilah informasi, menjaga privasi, dan melawan segala bentuk kekerasan yang hadir di ruang maya,” ujar Rina Suryani, aktivis perempuan yang aktif mengampanyekan keamanan digital bagi perempuan.
Kritisisme Sebagai Bentuk Perlawanan
Kritisisme perempuan di era digital bukan hanya soal menyuarakan pendapat, tetapi juga membangun kesadaran kolektif. Perempuan kini menggunakan platform digital untuk mengadvokasi isu-isu gender, memperjuangkan hak-hak mereka, dan melawan narasi yang merugikan.
Kampanye seperti #MeToo dan #WomenNotObjects adalah contoh nyata bagaimana kekuatan perempuan di dunia digital mampu mengguncang tatanan sosial.
“Media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. Tapi jika digunakan secara kritis, ini adalah alat yang sangat kuat untuk menyuarakan ketidakadilan dan mengedukasi masyarakat,” kata Diah Prasetyani, seorang jurnalis yang sering menulis tentang kekerasan berbasis gender online.
Pentingnya Literasi Digital
Literasi digital menjadi kunci dalam upaya melindungi perempuan dari kekerasan online. Pemahaman tentang privasi, keamanan data, dan cara melaporkan konten yang merugikan sangat penting untuk dimiliki oleh setiap perempuan. Organisasi masyarakat sipil dan pemerintah perlu berkolaborasi untuk meningkatkan literasi ini melalui pelatihan dan kampanye yang masif.
“Literasi digital tidak hanya tentang bisa menggunakan teknologi, tetapi memahami risiko dan cara menghadapinya. Ini adalah keterampilan bertahan hidup di era modern,” tambah Diah.
Mendorong Kebijakan Perlindungan
Selain kesadaran individu, kebijakan yang mendukung perlindungan perempuan di ranah digital sangat diperlukan. Hukum harus bisa mengakomodasi perkembangan teknologi dan memberikan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan digital. Peran pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat menjadi sangat penting untuk menciptakan lingkungan digital yang aman bagi perempuan.
Refleksi dan Harapan
Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini menjadi momen refleksi bagi semua pihak. Bagi perempuan, ini adalah panggilan untuk terus bersikap kritis dan memperkuat solidaritas di ruang digital. Bagi masyarakat luas, ini adalah kesempatan untuk mendukung gerakan perempuan dan bersama-sama melawan kekerasan berbasis gender dalam segala bentuknya.
Kritisisme perempuan di era digital adalah bentuk perlawanan dan pembebasan. Sebuah langkah menuju dunia yang lebih adil, setara, dan aman bagi semua perempuan, baik di dunia nyata maupun maya.