Trigger Warning : Isi dari artikel ini mengandung deskripsi kekerasan seksual dapat memicu trauma khususnya pada penyintas juga korban kekerasan seksual
TENTANGPUAN.COM, KENDARI – Kasus pemerkosaan dua saudari, Indah (9) dan Dewi (4), bukan nama sebenarnya. Esok, Kamis 26 Oktober 2023, perkaranya akan diputuskan oleh Pengadilan Negeri Baubau. Dari penanganan perkara di kepolisian hingga pengadilan, kasus ini sudah bergulir hampir 10 bulan.
Hari-hari Indah dan Dewi saat ini lebih banyak berada di petakan kost-kostan seluas 12 meter persegi bersama Nurul juga nama samaran, ibu keduanya dan seorang saudara laki-laki mereka. Dalam ruangan pengap itu, ke empatnya tinggal berhimpitan dengan perlengkapan seadanya. Beberapa alat masak, tikar plastik yang digunakan sebagai alas tidur dan tumpukan pakaian yang dijejal dalam dus karton juga keranjang plastik. Satu-satunya barang mewah di sana hanya kipas angin bekas.
Indah dulu tercatat sebagai murid kelas 3 salah satu SD Negeri di kota berjulukan negeri seribu benteng ini. karena kasus ini sekolahnya terbengkalai. Nurul tak mempersoalkan itu, ia tak sudi membiarkan anaknya beraktivitas jauh di luar rumah tanpa pengawasanya. Ia trauma atas peristiwa yang menimpa dua putrinya.
Hal lain, kata Nurul, kostan jauh dari lokasi sekolah. Ia juga tak punya biaya untuk transportasi pulang pergi sekolah. Pasca peristiwa pilu itu, Nurul berhenti berjualan sayur di Pasar Wameo. Untuk kebutuhan hidup, mereka mendapat bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) senilai Rp 2,5 juta setiap bulan, juga dari donasi. Tanggungan itu diberikan sejak Januari saat ia mulai melaporkan kasusnya di Polres Baubau higga saat ini.
Nurul menyebut Indah dan Dewi kerap melamun, berteriak juga menangis. Saat bertemu orang keduanya selalu sungkan.
“ Secara kasat mata tidak begitu kelihatan tapi sudah berbeda perilaku mereka, dulu mereka ceria, tertawa, suka main-main sama orang baru biasa saja, sekarang malu dan takut, yah apa istilahnya trauma yak,” jelas Nurul.
Menurut Nurul saat awal kasus, kondisi kedua putrinya memprihatinkan, fisik dan psikis. Nurul melihat vagina putri bungsunya Indah, dalam kondisi menganga dan sobek sampai di dubur. Klitoris tidak terlihat di permukaan karena melesap. Kemaluan tampak pucat. Tidak ada bekas darah. Hanya ada bubuk putih kering seperti garam. Seperti cairan kering di sekitar bibir saat bangun tidur.
Saat ditanya apakah merasakan sakit di kemaluannya, putri bungsunya berkata tidak merasakan sakit.
Nurul heran dengan kondisi kemaluan itu, anaknya masih bisa berjalan, bahkan berlari dan bermain. Hanya mengeluh sakit saat buang air kecil. Sepekan kemudian ia mengeluh kesakitan. Vaginanya membengkak, berwarna merah semerah udang rebus. Selain itu, berbau. Nurul sering mengompreskan air hangat.
Hal serupa juga terjadi pada Indah, seminggu setelah kejadian, daging kemaluannya keluar. Seperti seseorang yang habis melahirkan.
Nurul, ibu tunggal berumur 41 tahun, ia berdarah asli Taliabu Maluku Utara. Sejak umur 7 tahun ia sudah menetap di Kota Baubau, di usia 20 tahun ia menikah. Dua kali pernikahan, ia dikaruniai 5 anak. dua putri dan tiga putra.
Kasus perkosaan pada Indah dan Dewi ini terjadi tepatnya pada medio 24 Desember 2022, menyeret AP (19), saudara laki-laki tertua mereka.
Dia dituduh sebagai pelaku tunggal perkosaan. Meski dalam banyak pemeriksaan dan kesaksian yang diberikan Dewi serta Indah, tuduhan kepada AL tidaklah kuat. Kedua korban tidak pernah menyebut AP melakukan perkosaan.
Tim kuasa hukum yang mendampingi AP, mengungkap banyak kejanggalan dalam kasus ini, terutama pada proses penyelidikan, penyidikan oleh polisi hingga penuntutan oleh jaksa yang terungkap dalam persidangan. Kuasa hukum menyebut penetapan AP sebagai pelaku dipaksakan. Dalam fakta persidangan tersebut, tidak ditemukan alat bukti yang mengarah kepada terdakwa AP.
Apa sebab?
Pada fakta persidangan, keterangan dua korban yang dalam beberapa kali pemeriksaan selalu konsisten menyebut orang lain sebagai pelaku. Bahkan dua korban mengaku jika pelaku berjumlah 7 orang, keduanya menyebut pelaku dengan panggilan tukang-tukang yang sering mereka lihat berkeliaran di sekitar perumahan, kediaman para korban. Tukang-tukang yang dimaksud adalah tukang dan seorang developer perumahan berinisial AR.
“ Ada abuse of power, polisi mengabaikan pengakuan kedua korban dan menetapkan AP sebagai tersangka, kedua korban menyebut, pelaku pelecehan bukanlah kakak kandungnya, melainkan 7 pekerja perumahan, termasuk developer berinisial AR,” jelas Aqidah Awwami, satu dari 7 kuasa hukum yang mengawal perkara ini.
Menyoal kejanggalan, tidak berhenti pada diabaikanya pengakuan dua korban. Secara prosedural penanganan perkara pun banyak tidak sesuai aturan. Aqidah merinci, pertama penetapan tersangka terhadap kliennya tersebut tanpa melalui surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Tanpa SPDP kasus ini terhenti ketika saat proses sidang praperadilan. Pasalnya, SPDP sendiri merupakan objek praperadilan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“SPDP tidak ada. SPDP kan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi ranah objek praperadilan. Faktanya berkas perkara tidak dilengkapi SPDP,” kata Aqidah.
Saat menangkap AP, polisi tidak mengantongi surat perintah penangkapan dan penahanan. Hal ini merupakan kejanggalan dan pelanggaran prosedur kepolisian.
Lalu kesalahan lain adanya 2 berkas perkara penetapan tersangka terhadap AP berbeda, antara yang dikantongi jaksa penuntut umum (JPU) dan kuasa hukum serta majelis hakim.
Surat penetapan tersangka versi JPU tertanggal 29 Januari 2023, nomor angka tertulis dengan ketikan. Dokumen penetapan tersangka kedua, yang dipegang hakim bertanggal 28 Januari 2023 dengan nomor angka tulis tangan.
Aqida menceritakan, dalam proses persidangan, Kanit PPA Satreskrim Polres Baubau, Aipda Mulyono Santoso membantah dirinya yang menyusun dokumen penetapan tersangka itu.
Mulyono menuding, dua surat itu dibuat penyidik lain, Brigadir Rahmiyanti Ahmad, merupakan pemeriksa korban dan terdakwa. Saat dikonfrontir, hal sebaliknya disampaikan Rahmiyanti.
Keduanya pun terlihat saling tuding.
“Bu Rahmiyanti menyampaikan, saya juga tidak tahu, saya juga menyerahkan kepada pak Mulyono,” ujar Aqidah menirukan bahasa penyidik Rahmiyanti saat sidang pemeriksaan saksi verbal lisan.
Tak mau menyerah, tim kuasa hukum lantas kembali mencecar sejumlah pertanyaan penyidik terkait dua surat penetapan tersangka yang berbeda tersebut.
Aqida melihat, 2 surat penetapan tersangka itu merupakan kejanggalan, lantaran tidak pernah terjadi dalam proses penyidikan di kepolisian.
“Kami menanyakan, apakah ini sering terjadi di kepolisian. Mereka menjawab, biasanya kami punya satu berkas yang diserahkan kepada hakim, dari hakim itu kemudian di-copy (digandakan) oleh kejaksaan, penasihat hukum,” ucapnya.
“Atau katanya kadang ke kejaksaan, tapi berkasnya sama yang dipegang hakim. Mereka jawab lagi, katanya ada dua (berkas) biasanya. Kami tanya, menurut perkap (Peraturan Kapolri) bagaimana?, mereka jawabnya kontradiksi,” katanya.
Kala itu, tim penasihat hukum terdakwa meminta kepada hakim agar keduanya dikonfrontir. Tetapi hakim tidak mengizinkan karena waktu yang kasip.
Secara de facto, kata Aqida, penetapan AP sebagai tersangka adalah berdasarkan atas keterangan prematur dan tidak sah dari saksi-saksi, yakni antara lain, Samsiar dan La Ode Yusuf.
Aqida mencatat, polisi menetapkan tersangka lebih dulu pada 28 Januari 2023, padahal saksi-saksi belum selesai diperiksa. Bahkan, berkas perkara ditandatangani setelah penetapan tersangka, yakni 29 Januari 2023.
Saksi Samsiar dan La Ode Yusuf yang diperiksa pada 28 Januari 2023, bertanda tangan di BAP pada 29 Januari 2023 malam pasca-ditetapkannya AP sebagai tersangka. Samsiar dan La Ode Yusuf merupakan saksi verbalisan yang dihadirkan jaksa. Samsiar ibu rumah tangga sementara La Ode Yusuf, anggota Buser Polres Baubau.
“Penetapan tersangka kepada terdakwa AP yang mengacu kepada saksi-saksi telah menunjukkan adanya penyelundupan hukum dan penindasan hak asasi terdakwa AP,” tegasnya.
Jeang putusan, Aqidah berharap, majelis hakim memutus bebas AP, ini karena kejanggalan serta fakta-fakta dan bukti di persidangan yang tidak menunjukan cukup bukti, jika AP merupakan pelaku pemerkosaan.
Polisi Unduh Video Porno untuk Jerat Tersangka
Personel Satreskrim Polres Baubau diduga mengunduh video porno untuk menjerat AP, pada 5, 25 dan 28 Januari 2023. Jaksa mendakwakan, video itu ditemukan di galeri setelah dipulihkan dari file sampah.
Padahal, ponsel merk Redmi berwarna hitam milik AP disita polisi pada 28 Januari 2023. Tetapi, konten pornografi ini dikonstruksikan seolah-olah AP telah menonton video tak senonoh, sehingga mencabuli kedua adiknya.
Namun begitu menurut Aqidatul penyidik tak bisa membuktikan hasil uji digital forensik konten porno tersebut dan tak mampu menunjukkan berita acara pemindahan dari file sampah ke galeri sesuai dengan Peraturan Kapolri.
Barang bukti handphone, kata Aqida, kategorikan sebagai informasi elektronik, dimana cara perolehannya wajib memenuhi syarat formil dan materil.
Hal itu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang ITE.
Secara yuridis perolehan barang bukti informasi elektronik harus memuat syarat-syarat formil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU RI Nomor 11 tahun 2008 Tentang ITE.
Selanjutnya untuk menentukan validitas alat bukti elektronik tersebut diperlukan pengkajian ahli digital forensik sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP.
“Saat penyidik kami tanya, katanya lupa (membuat berita acara pemindahan barang bukti). Kami tanya lagi, ada tidak hasil laboratorium digital forensik untuk memverifikasi, validasi kebenaran dan keabsahan video. Tidak ada, kata penyidik,” beber Aqida.
Sehingga, tim kuasa hukum menyampaikan keberatan ponsel tersebut dihadirkan sebagai barang bukti. Tim penasehat hukum AP mengatakan, barang bukti itu tidak sah.
Namun, fakta mencengangkan ditemukan, bahwa video porno dalam ponsel AP di-download pada 5, 25 dan 28 Januari 2023. Padahal AP sudah ditahan pada waktu itu.
Fakta tersebut diterangkan pula terdakwa AP, bahwa terdapat video porno yang pernah terdownload pada sekitar bulan Januari 2023. Fakta penguasaan handphone oleh penyidik pada tanggal 28 Januari 2023.
Sebagaimana diterangkan oleh anggota Buser Polres Baubau La Ode Yusuf dan La Baya serta dikuatkan dengan adanya Surat Perintah Penyitaan Nomor: Sp.Sita/06/I/2023/Reskrim tanpa tanggal bulan Januari 2023.
Faktanya, pada 28 Januari 2023 handphone tersebut sudah tidak lagi berada di dalam kekuasaan terdakwa AP, melainkan di tangan penyidik.
“Handphone sudah dalam penguasaan penyidik. Ada riwayat downloadnya, 3 konten. Makanya kami tanyakan, bagaimana bisa dikaitkan dengan peristiwa pidana di tanggal 24 Bulan Desember, mereka tidak bisa jawab,” urainya.
Tak sampai di situ, kuasa hukum melihat proses penyidikan sarat rekayasa. Pengakuan AP, dia dipaksa mengaku bahwa dialah pelaku pencabulan terhadap Indah dan Dewi.
Selama interogasi polisi AP diintimidasi, diancam ditembak, hingga dipukuli menggunakan gantungan baju, oleh polisi agar memberi pengakuan memperkosa adiknya.
Polisi Menolak Berkomentar
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Kota Baubau AKBP Bungin Masokan Misalayuk menolak memberikan penjelasan detail persoalan ini. Saat tim Bentara Timur mencoba mengkonfirmasi melalui pesan whatsApp, Bungin hanya memberikan komentar pendek. Ia mengatakan tak memberikan penjelasan panjang karena tengah melangsungkan rapat.
“Sy blm tahu mengenai proses di pengadilan perkembangannya seperti apa, tp kita serahkan saja hal tersebut kepada pengadilan” demikian balasan Bungin melalui pesan whatsApp.
Sementara itu Pimpinan Komisi Yudisial Hariman Satria mengatakan cukup mengatensi perkara ini. Soal putusan vonis yang akan ditetapkan besok, ia meminta hakim yang menangani perkara pencabulan ini menunjukan sikap profesionalnya taat pada kode etik dan memperhatikan rasa keadilan bagi terdakwa dan masyarakat.
Hariman mengatakan memang memantau perkembangan masalah ini tetapi institusinya tidak bisa mengintervensi keputusan hakim. Putusan vonis merupakan kewenangan dan tanggung jawab hakim yang sedianya dilakukan dalam track yang benar dan tepat.
“Pada dasarnya saat hakim menjatuhkan vonis kewenangan penuh dari hakim, tapi apabila ada laporan masyarakat atau kuasa hukum yang menyampaikan putusan hakim sarat persoalan maka KY memiliki kewenangan salah satunya melakukan eksaminasi pada putusan pengadilan tapi ini bukan intervensi pada putusan,” kata Hariman pada awak media yang dikonfirmasi Rabu 25 Oktober 2023, melalui sambungan telepon.
Eksaminasi berdasarkan Black’s Law Dictionary memiliki arti sebagai tindakan untuk mengetahui sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus sebuah perkara disertai penilaian atas prosedur hukum acaranya.
Penulis : Rosniawanti