Perjuangan Mira Manangin Membawa Identitas

Mira Manangin
Sumber foto: Dokumen pribadi Mira.

Tentangpuan.com – Perkembangan teknologi transportasi tidak lepas dari pengaruh signifikan dalam percampuran budaya, karena memungkinkan orang berpindah dari satu titik ke titik yang lebih jauh membawa budaya yang sangat berbeda.

Hal tersebut disadari oleh Miranty Manangin, (26). Perempuan kelahiran Kotamobagu, 06 September 1994, yang saat ini terus konservatif dengan tetap membawa dialeg kedaerahan sebagai bentuk identitas dan upaya untuk pelestarian budaya.

Mira mengakui, globalisasi dalam masa era digital seperti saat ini meniadakan batasan waktu dan lokasi, sehingga budaya-budaya di seluruh daerah, bahkan dunia memungkinkan saling silang budaya.

Hal ini memunculkan dua sisi kondisi, perkembangan budaya semakin cepat dengan adanya interaksi manusia yang tidak lagi dibatasi waktu dan lokasi. Dan pada sisi lain, memunculkan ancaman homogenisasi karena identitas dan budaya saling baur dalam tempo yang cepat dan menipiskan perbedaan antara satu dengan yang lainnya.

Namun semua tantangan tersebut, tidak menyurutkan keinginan mahasiswi Fakultas Kehutanan, Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK) ini untuk terus berjuang. Lewat berbagai kiprahnya, Mira selalu sukses mendudukkan identitas dan menarik perhatian.

Dibesarkan di lingkungan yang sarat tradisi

Tumbuh dan terlahir dari kedua orangtua yang bersuku Mongondow, menjadikan Mira terbiasa melihat cara bertutur dan berlaku orang-orang Mongondow. Mobobahasan dan Mo’oaheran telah menjadi dasar laku yang terus diingat. Keberanian dan intonasi dialeg yang agak tinggi khas Mongondow Atas, bukanlah hal baru bagi Mira.

“Banyak orang yang salah paham, mengira saya sedang marah. Padahal sebenarnya tidak. Hanya karena terbiasa saja dengan dialeg seperti itu sejak kecil, sehingga terbawa dan memang sengaja saya bawa-bawa sebagai identitas,” kata Mira kepada Tentangpuan.com, Senin, (19/04/2020).

Di samping itu, Mira menuturkan bahwa, karakter yang kuat akan terbangun ketika sebagai perempuan dan anak muda, kita bisa menghargai apa yang kita miliki sebagai sebuah kebaikan.

“Mental kita akan teruji. Sebab, bagaimana kita bisa menghargai budaya dan tradisi orang lain, jika budaya sendiri kita awam dan cenderung malu mengakui,” ujar Mira.

Kerap dibully

Teguh membawa identitas tak lantas membuat Mira luput dari berbagai tantangan. Meski berusaha merebut posisi-posisi strategis, seperti menjadi Ketua Pemuda di desanya Bilalang 1, dan Menjadi Ketua Kohati, HMI Cabang Bolmong, Mira tak luput dari bully orang-orang sekitar.

Banyak orang yang terang-terangan menuding Mira kuno. Bahkan ada yang cenderung sarkas. Tetapi semuanya diterima sebagai bahan evaluasi dan kesadaran sebagai minimnya sumber daya manusia.

“Yang paling melekat dalam benak saya adalah lanit bangkung, itu yang paling menyakitkan. Bahkan saat SMA saya sempat sangat malu. Tapi, semakin ke sini, saya semakin menyadari bahwa saya tidak bisa memaksa semua orang untuk paham, atau paling tidak suka dengan saya. Saya menerimanya sebagai semangat baru untuk lebih kuat lagi dalam membawa identitas ini,” tutur Mira.

Sementara itu, rekan seprofesi yang juga fokus pada isu-isu budaya Mongondow, Erwin Makalunsenge, mengaku bangga dengan konsistensi Mira dalam berjuang membawa dialeg pada kesehariannya di tengah degradasi budaya.

“Salut dan bangga dengan prestasi. Fakta bahwa generasi Bolmong jarang yang suka menggunakan bahasa dan dialeg daerah tidak bisa dipungkiri. Sehingga apa yang dilakukan Mira patut ditiru,” kata Erwin.

Degradasi nilai budaya muncul. Tidak menutup kemungkinan asimilasi yang terjadi bisa membuat budaya punah.

Erwin merasa prihatin dengan bully yang kerap dilontarkan kepada Mira, dan kepada orang-orang yang masih konsisten membawa dialeg dan berbahasa daerah.

“Banyak contoh yang bisa kita lihat, suku Jawa, Gorontalo, dan yang lain, di mana pun pasti akan bangga berbahasa daerah, atau sekedar membawa dialeg mereka. Kenapa kita cenderung malu dan merasa kuno kalau menggunakan bahasa yang diwariskan nenek moyang kita,” ungkap Erwin.

Membawa identitas hingga ke Munas Kohati HMI

Kecenderungan karakter Mira sebagai orang Mongondow yang selalu suka hal baru, mengutamakan tegur sapa dan saling menghargai (Bobahasaan dan Mo’oaheran), membuat Mira langsung berbaur dan membangun silahturahami dengan perwakilan peserta Musyawarah Nasional (Munas) Kohati Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari wilayah Indonesia timur dengan tetap membawa dialeg yang selama ini lekat.

“Terkadang saat berbahasa Indonesia pun, intonasi dialeg Mongondow sering terbawa. Bahasanya bahasa indonesia, tapi intonasinya versi dialeg Mongondow, jadi mungkin itu yang memicu orang-orang mudah mengingat saya. Entah kanapa, saya sendiri kaget, diusulkan untuk jadi presidium sidang saat itu,” aku Mira.

Menurut Mira, selain beberapa kemampuan penguasaan panggung yang dimiliki, konsistensi membawa identitaslah yang sebenarnya mengantar kiprah Mira hingga ke tingkat nasional.

“Kan kalau sudah terbiasa dengan mobobahasaan dan mo’oaheran, pasti kita akan cenderung fleksibel. Akan muda berbaur dan menghargai agama, budaya, ras dan bahkan perbedaan itu sendiri,” kata Mira.

Mira berharap, keterlibatannya sebagai salah satu presidium di Munas, dengan tetap membawa dialeg kedaerahannya, bisa dipandang sebagai sebuah hal yang positif.

“Semoga apa yang saya lakukan bisa membawa kebaiakan dan dianggap positif.Terkadang suara sumbang masih saya dengar. Soal ketidakcakapan saya dalam berbahasa Indonesia. Atau intonasi dialeg yang tetap saya bawa ketika berbahasa Indonesia. Dan yang membuat saya sedih, suara-suara sumbang ini muncul dari sesama anak daerah. Padahal, penting bagi kaum muda untuk memiliki intelektualitas dan identitas,” pungkas Mira.

Leave a Reply

Your email address will not be published.