TENTANGPUAN.com – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tuntutan, ada satu aspek yang sering luput dari sorotan utama yaitu perawatan. Baik itu merawat anak, orang tua, pasangan, atau bahkan diri sendiri, aktivitas ini merupakan fondasi dari kehidupan sehari-hari yang produktif dan seimbang.
Namun, dalam dunia lifestyle yang banyak menekankan efisiensi, performa, dan pencapaian individu, ekonomi perawatan kerap dipinggirkan, meski ia menopang seluruh sistem sosial dan ekonomi.
Ekonomi perawatan merujuk pada semua aktivitas yang melibatkan merawat orang lain atau diri sendiri, yang bisa dilakukan secara sukarela (tak dibayar) maupun sebagai pekerjaan formal.
Ini mencakup aktivitas seperti memasak, membersihkan rumah, merawat anak, mendampingi lansia, hingga perawatan emosional.
Dalam konteks lifestyle, ini adalah aktivitas tak terlihat yang memungkinkan seseorang tampil “fit”, fokus, dan seimbang. Hal-hal yang justru sangat dibanggakan dalam budaya gaya hidup modern.
Namun, ironi muncul ketika banyak tren gaya hidup seperti self-care, mindfulness, atau well-being dirayakan secara komersial, tapi pekerjaan perawatan yang mendasarinya tetap dianggap “biasa” dan sering kali tidak dihargai.
Merawat anak seharian, membersihkan rumah, atau menemani orang tua ke rumah sakit, tidak masuk dalam kategori produktif dalam kacamata ekonomi konvensional. Padahal, tanpa semua aktivitas itu, individu tidak akan punya ruang untuk “mengejar passion”, berolahraga, atau berkarier.
Ketika orang-orang kelas menengah ke atas memesan layanan kebersihan, jasa pengasuh, atau terapi emosional, mereka secara tidak langsung memindahkan pekerjaan perawatan ke tenaga kerja yang sering kali perempuan dan dibayar rendah.
Di sinilah terjadi komodifikasi perawatan dalam lifestyle, di mana jasa perawatan dikonsumsi sebagai bagian dari gaya hidup “seimbang”, tetapi pekerjanya tetap kurang dihargai secara ekonomi maupun sosial.
Bagi perempuan—yang secara historis dan budaya sering dibebani tanggung jawab perawatan—ketimpangan ini menjadi nyata. Banyak perempuan yang meninggalkan karier atau membatasi ambisi profesionalnya demi menjalankan peran merawat keluarga. Sementara di sisi lain, gaya hidup yang ideal sering digambarkan sebagai mandiri, aktif, dan produktif di ruang publik—sebuah narasi yang menyisihkan realitas perawatan yang melelahkan dan tidak glamor.
Sudah saatnya ekonomi perawatan diakui sebagai bagian penting dari diskursus lifestyle. Bukan hanya soal membeli skincare atau berlibur demi kesehatan mental, tapi juga menghargai dan membagi beban kerja perawatan secara adil di dalam rumah tangga, komunitas, dan masyarakat. Ini termasuk mengubah kebiasaan, membangun empati, dan mendobrak norma gender yang timpang.
Selain itu, gaya hidup yang benar-benar sustainable seharusnya tidak hanya bicara soal ramah lingkungan atau konsumsi sadar, tapi juga tentang relasi antar manusia yang setara dan saling merawat. Apresiasi terhadap perawatan bukan berarti menjadikannya konsumsi semata, tetapi mengembalikannya sebagai nilai dasar hidup manusia.
Menghidupkan ekonomi perawatan dalam gaya hidup bukan hanya bentuk solidaritas, tetapi juga bentuk keberanian untuk menilai ulang apa yang benar-benar penting dalam hidup. Dalam dunia yang sering kali menghargai kecepatan dan pencapaian, mungkin merawat—dan dirawat—adalah bentuk paling radikal dari perlawanan yang bermakna.