Urgensi Perlindungan Anak di Bawah Umur dalam Menghadapi Maraknya Kekerasan Seksual

Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com)

TENTANGPUAN.com – Tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur semakin menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir. Di berbagai daerah, termasuk di Indonesia, kasus-kasus ini kerap terjadi dalam lingkungan yang seharusnya aman bagi anak, seperti sekolah, rumah, dan komunitas.

Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kekerasan seksual mendominasi laporan kasus kekerasan terhadap anak setiap tahunnya. Hal ini menegaskan urgensi perlindungan yang lebih efektif terhadap anak di bawah umur agar mereka terhindar dari ancaman serius ini.

Kekerasan Seksual terhadap Anak: Gambaran Umum

Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terbatas pada tindakan fisik tetapi juga mencakup eksploitasi, pelecehan, serta ancaman berbasis daring. Kekerasan seksual dapat terjadi dalam bentuk, perkosaan, eksploitasi seksual, dan pelecehan seksual.

Perkosaan sendiri adalah tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan atau pada individu yang tidak dapat memberikan persetujuan, seperti anak di bawah umur.

Sedangkan, eksploitasi seksual adalah penggunaan anak untuk tujuan komersial atau non-komersial dalam aktivitas seksual. Sementara, pelecehan seksual melibatkan perilaku seperti sentuhan yang tidak diinginkan, komentar seksual, atau paparan pornografi kepada anak.

    Anak-anak sering kali menjadi korban karena mereka dianggap sebagai individu yang rentan dan mudah dipengaruhi. Pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari lingkungan dekat, seperti keluarga, tetangga, guru, atau bahkan teman sebaya.

    Faktor-Faktor yang Mendorong Maraknya Kekerasan Seksual pada Anak

    Minimnya Pengawasan dan Edukasi Seksual

    Banyak orangtua atau pengasuh yang kurang memberikan pemahaman, mengenai tubuh dan hak-hak pribadi anak, sehingga anak tidak mengenali tanda-tanda kekerasan atau pelecehan. Kurangnya pengawasan, terutama di lingkungan daring, juga meningkatkan risiko kekerasan seksual.

    Kultur Patriarki dan Normalisasi Kekerasan

    Budaya yang menganggap laki-laki, sebagai figur dominan dalam masyarakat dan kurangnya kesadaran tentang hak-hak anak, sering kali menormalisasi kekerasan seksual. Di beberapa komunitas, kekerasan seksual bahkan tidak dilihat sebagai kejahatan serius.

    Akses Tak Terbatas ke Teknologi

    Dengan semakin luasnya akses anak-anak ke internet dan media sosial, risiko eksploitasi seksual, pelecehan daring, serta paparan pornografi meningkat.

    Pelaku sering kali memanfaatkan platform online untuk mendekati anak-anak dan melakukan grooming, yaitu proses manipulasi psikologis yang membuat anak percaya bahwa tindakan seksual tersebut dapat diterima.

      Dampak Kekerasan Seksual terhadap Anak

      Kekerasan seksual meninggalkan luka mendalam bagi korban, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Dampak jangka panjang yang mungkin dialami anak-anak korban kekerasan seksual antara lain:

      Trauma Psikologis

      Anak-anak korban kekerasan seksual sering kali mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan post-traumatic stress disorder (PTSD). Mereka bisa mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain dan merasa ketakutan atau tidak aman di lingkungannya.

      Kehilangan Rasa Percaya Diri

      Anak yang menjadi korban kekerasan sering kali kehilangan kepercayaan diri dan merasa bersalah atau malu, bahkan ketika mereka tidak bersalah.

      Gangguan Kesehatan Fisik

      Anak yang mengalami kekerasan seksual mungkin mengalami luka fisik serius, kehamilan di usia dini, atau terpapar infeksi menular seksual (IMS).

      Regulasi dan Kebijakan Perlindungan Anak

      Di Indonesia, terdapat berbagai undang-undang yang dirancang untuk melindungi anak dari kekerasan seksual. Beberapa di antaranya adalah:

      Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: Menegaskan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

      Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penerapan Sanksi Berat bagi Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak (Perpu Kebiri): Memungkinkan penerapan hukuman kebiri kimia dan pemasangan chip untuk pelaku kekerasan seksual pada anak.

      Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE): Mengatur penyebaran konten berbahaya di dunia maya, termasuk pelecehan seksual berbasis daring dan pornografi anak.

      Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik: Memperkuat kontrol pemerintah terhadap konten berbahaya yang ada di platform digital, termasuk yang berkaitan dengan eksploitasi anak.

        Meski sudah ada regulasi yang cukup ketat, tantangan dalam penegakan hukum masih besar. Beberapa pelaku tidak segera dihukum atau mendapatkan sanksi ringan, dan tidak semua korban mendapatkan keadilan yang layak.

        Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak

        Beberapa langkah penting dalam mencegah kekerasan seksual pada anak di bawah umur meliputi:

        Edukasi Seksual yang Komprehensif

        Anak-anak harus diberikan pemahaman mengenai tubuh mereka, hak-hak pribadi, dan perbedaan antara sentuhan yang aman dan tidak aman. Ini harus dimulai sejak dini dan dilakukan oleh orang tua serta lembaga pendidikan.

        Pengawasan Ketat terhadap Aktivitas Daring Anak

        Orangtua perlu terlibat aktif dalam memantau penggunaan teknologi oleh anak-anak mereka. Penggunaan aplikasi kontrol orang tua serta pengaturan privasi di perangkat elektronik dapat membantu membatasi akses anak ke konten berbahaya.

        Peningkatan Kesadaran Publik

        Masyarakat harus terus diedukasi tentang bahaya kekerasan seksual terhadap anak dan bagaimana melaporkan tindakan tersebut. Kampanye kesadaran melalui media sosial, komunitas, dan sekolah dapat membantu menormalisasi diskusi mengenai isu ini dan menghilangkan stigma pada korban.

        Penguatan Sistem Hukum

        Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual harus dilakukan dengan tegas dan cepat. Proses hukum yang lamban atau tidak memadai hanya akan meningkatkan risiko kekerasan lebih lanjut dan memperburuk trauma korban.

        Dukungan Psikologis dan Pemulihan bagi Korban

        Anak-anak yang menjadi korban harus mendapatkan akses ke layanan pemulihan yang memadai, termasuk konseling psikologis dan dukungan sosial untuk membantu mereka pulih dari trauma.

        Jadi Sahabat Puan, perlindungan anak di bawah umur dari tindak kekerasan seksual adalah tanggung jawab bersama–dari pemerintah, orang tua, pendidik, hingga masyarakat luas.

        Dengan edukasi yang tepat, pengawasan yang ketat, dan penegakan hukum yang efektif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak dan memastikan mereka terlindungi dari ancaman kekerasan seksual.

        Sebagai generasi penerus bangsa, anak-anak harus mendapatkan perlindungan yang maksimal agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat, tanpa kekerasan dan eksploitasi.

        Leave a Reply

        Your email address will not be published.