TENTANGPUAN.com – Matahari telah tinggi saat Rida Intama, seorang perempuan berusia 73 tahun, mulai menata dagangannya di pinggir Jalan KS. Tubun, Wenang. Di bawah bayang-bayang tenda sederhana, tangannya yang keriput menata kelapa-kelapa yang siap dijual—sumber penghidupannya selama 25 tahun.
Setiap hari, Rida tiba di tempat yang sama, berjualan dari pukul delapan pagi hingga matahari mulai tenggelam di ufuk barat, sekitar jam tiga sore. Dengan semangat yang tak tergerus usia, ia menjajakan kelapa dari satu generasi ke generasi lainnya di tempat yang sama, bertahan dengan tekad kuat dan kesederhanaan hidup.
“Ini yang jadi mata pencaharian saya,” ungkap Rida sambil tersenyum, menunjukkan senyum ramah yang telah akrab bagi para pelanggannya. Meski hujan atau panas, ia tetap setia hadir, duduk di bawah tenda yang telah menjadi saksi bisu perjuangannya selama bertahun-tahun.
Kelapa yang ia beli seharga lima ribu rupiah, dijual kembali seharga sepuluh ribu. Selisih kecil itu cukup untuk menopang kehidupannya. “Saya beli kelapa ini seharga lima ribu rupiah, lalu saya jual sepuluh ribu,” ceritanya, Sabtu (14/9/2024).
Dalam sehari, terutama ketika dagangan sedang ramai, Rida bisa memotong hingga 100 kelapa. Meski tangannya yang tua kadang terasa sakit, dia tak pernah mengeluh. Justru ia tertawa kecil saat mengungkapkan rasa lelah yang menyelinap di tubuhnya.
“Saya masih kuat,” katanya, lalu disambung tawa renyah yang memecah kesunyian jalan. “Kadang memang tangan saya sakit kalau banyak kelapa yang saya potong, tapi selama ini saya masih bisa.”
Kelapa-kelapa yang ia jual tak hanya sekadar barang dagangan. Bagi Rida, kelapa-kelapa itu adalah simbol dari dedikasi dan ketangguhan hidup. Di tengah kerasnya kehidupan, ia tetap menjalani pekerjaannya dengan rasa syukur yang mendalam. Baginya, pekerjaan ini adalah hal yang sederhana namun berarti besar.
“Cuma ini yang saya bisa, ini yang jadi mata pencaharian utama saya,” lanjutnya dengan nada rendah hati.
Di setiap sore, saat kelapa yang dijualnya belum habis, Rida tak pernah merasa rugi. Dengan ikhlas, ia meninggalkan kelapa-kelapa itu di tempatnya berjualan, berharap ada yang membutuhkan. Baginya, setiap kelapa yang tidak terjual masih bisa menjadi berkah bagi orang lain.
“Kalau ada yang ambil, ya tidak apa-apa. Yang penting mereka bisa makan dan minum,” ucapnya lembut, memperlihatkan ketulusan hatinya yang begitu dalam.
Kisah Rida Intama bukan hanya tentang kelapa yang dipotong dan dijual di pinggir jalan. Di balik tangan tuanya yang penuh keterampilan, ada kisah tentang ketangguhan, pengorbanan, dan rasa syukur yang tulus. Di usia senjanya, ia tetap bekerja tanpa mengeluh, tanpa harapan keuntungan besar. Bagi Rida, yang terpenting adalah menikmati hari-hari dengan rasa puas, menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.
Rida, dengan segala keterbatasannya, mengajarkan kita bahwa hidup tidak melulu tentang hasil akhir, melainkan tentang kesetiaan pada pekerjaan, keikhlasan dalam berbagi, dan kebahagiaan yang datang dari hal-hal sederhana.