TENTANGPUAN.COM – Saat sore mulai jingga dan Agustus matang, aku menyingkap kerudung warna tanah, menghadap batu, melihat daun, merasa sepoi angin, lalu mencari-cari bayangan–yang perlahan menghilang bersama mentari.
Aku melihat semua orang bercakap di kafe-kafe tapi aku telah tuli, telingaku kehilangan fungsi, sebab ini begitu dingin dan sendiri, walau bibir merekah tertawa-tawa tapi hatiku tak bergeming, diam dalam detak yang selalu kosong.
Aku memang ingin menjadi tempat yang kau sebut rumah, tapi rumah bukan hanya untuk tempat kau singgah (saja), kau harus tinggal di sana, melap debu, menyapu lantai, mengecat setiap inci dindingnya menjadi indah, terkadang kau malah harus menaruh seikat mawar di sana, agar hidup, agar kau nyaman dan merasa tak ingin ke mana-mana.
Sebuah rumah yang kokoh yang kau biarkan tanpa nyala api, dia akan merindukan dihuni sesorang, sepi di tunggu rindu dan rusak di makan rayap. Seperti juga sorang kasih, sebab cinta akan kalah dengan dia, yang selalu ada.