Tentangpuan.com – Konsep mekaup berkembang dengan begitu cepat. Untuk terlihat cantik, banyak perempuan begitu tergantung pada makeup. Namun, tahukah anda jika tren kecantikan yang menjadi acuan kita saat ini memiliki sejarah yang sangat panjang. Banyak dari tren kecantikan dulunya merujuk ke dunia barat. Namun kini kita juga banyak dipengaruhi oleh tren dari Korea.
Asia Pasifik memimpin pasar global dalam industri kosmetik yaitu mencapai 40%. Kategori dengan angka penjualan tertinggi adalah produk perawatan kulit. Diperkirakan pada 2024 nanti pasar kosmetik internasional akan bernilai lebih dari 80 trilyun US dollar.
Perkembangan pasar kosmetik dunia dan terutama di Asia juga turut memengaruhi Indonesia. Bisa dibilang lima tahun terakhir industri kosmetik dalam negeri meningkat pesat. Ada sangat banyak produk lokal, terutama yang memproduksi lipstick. Harga produk juga semakin murah meski kualitasnya tidak murahan. Namun, bagaimana sebenarnya sejarah dari makeup dan kosmetik itu sendiri?
Peradaban Sumeria
Peradaban Sumeria adalah yang pertama kali memperkenalkan konsep makeup. Pada 2500 hingga 1000 tahun sebelum masehi Bangsa Sumeria menggunakan serangga bernama Cochineal. Serangga ini bila dihancurkan dapat menghasilkan warna merah karmin yang cantik seperti warna tubuhnya. Selain serangga, sumber pewarna bibir lainnya adalah buah beri.
Ratu Sumeria kala itu, Shub-ad, suka mencampurkan batu merah yang dihancurkan dengan timah putih untuk dijadikan pewarna. Tentu saja seluruh kosmetik yang dibuat pada zaman itu tidak memberikan manfaat lain bagi kulit selain menjadi berwarna. Kosmetik yang tersedia tidak memiliki kandungan pelembap atau tabir surya.
Peradaban Mesir
Di Mesir, masyarakatnya memanfaatkan campuran dari rumput laut untuk mewarnai bibir menjadi merah keunguan. Cleopatra mencampurkan telur semut dengan pewarna karmin (dari serangga cochineal) sebagai pewarna bibirnya. Ketika meninggal, kaum perempuan yang kaya membawa pot berisi ramuan pewarna bibir ke dalam makam mereka. Ini menunjukkan betapa pentingnya kosmetik dalam kehidupan perempuan di Mesir.
Kosmetik yang digunakan tak hanya sebatas bibir. Bagian lain dari wajah juga diwarnai menggunakan tembaga, biji timah, dan perunggu. Cikal bakal eyeliner dari masyarakat Mesir merupakan kombinasi dari berbagai bahan baku seperti almond yang dibakar, tembaga yang dioksidasi, timah, abu, dan tanah liat. Beragam jenis minyak dimanfaatkan untuk melembabkan kulit serta melindunginya dari sinar matahari. Minyak juga dimanfaatkan sebagai bahan baku wewangian yang digunakan untuk ritual keagamaan.
Peradaban Islam
Al-Zahrawi adalah seorang dokter sekaligus ahli bedah muslim yang tinggal di Spanyol. Ia membuat ensiklopedia medis yang menjadi rujukan di berbagai universitas di barat pada abad ke 12 hingga 17 Masehi. Ensiklopedia bertajuk Al-Tasreef ini membahas banyak hal seperti deodoran, hair removing stick, lotion tangan, pewarna rambut, perawatan rambut, tabir surya, penguatan gusi, hingga pemutih gigi.
Ia beranggapan kosmetik adalah cabang dari dunia medis. Ketidaksengajaannya membuat parfum dalam bentuk stick justru membuatnya menemukan lipstick. Ia menjelaskan konsep perawatan tubuh dan kosmetika berdasarkan aturan dalam Islam. Sebab dalam Islam ada adab untuk menjaga kebersihan, cara berpakaian, dan cara merawat diri.
Tradisi Makeup di Berbagai Belahan Dunia
Pada berbagai kebudayaan, wajah putih menjadi standar kecantikan tersendiri. Bila kini di pasaran dijejali dengan produk-produk pemutih, pada zaman dahulu wajah dibuat sepucat mungkin dengan bedak. Contohnya adalah Cina dan Jepang yang memulai kebiasaan ini sejak 1500 tahun sebelum masehi. Alis dicukur habis dan gigi dicat hitam atau emas. Henna digunakan untuk rambut.
Kebiasaan menggunakan henna juga muncul di India pada 300 Masehi. Henna digunakan di India untuk membuat lukisan di kulit. Pasta henna dibuat dari tanaman yang bernama sama. Umumnya bagian tubuh yang dilukis adalah tangan dan kaki. Lukisan itu digunakan dalam pernikahan. Henna juga dikenal dalam beberapa kebudayaan di Afrika Utara.
Cina dan Roma sama-sama memiliki kebiasaan mewarnai kuku. Orang China menggunakan getah Arab, gelatin, beeswax, dan telur. Warna yang digunakan merupakan representasi dari kelas sosial. Sementara itu orang Roma memanfaatkan lemak dan darah domba untuk mewarnai kuku mereka. Untuk menyembuhkan jerawat, mereka membalur kulit dengan tepung terigu dan telur.
Tradisi Yunani di masa lampau juga mengenal kebiasaan untuk menilai kecantikan dari seberapa putih kulit seorang perempuan. Umumnya perempuan menggunakan kapur dan timah putih pada kulit. Sebagai eyeliner, mereka memanfaatkan minyak zaitun dan batu bara. Perempuan yang hidup di masa Yunani kuno mendapatkan diskriminasi ketika menggunakan lipstick. Penggunaan lipstick diasosiasikan sebagai pekerja di bidang prostitusi.
Uniknya, perempuan yang menjajakan diri memiliki kebebasan lebih banyak seperti dapat membuka bisnis sendiri. Hal serupa juga terjadi di Jepang. Para geisha menggunakan makeup, belajar membaca dan menulis, serta memiliki pengetahuan luas sehingga dapat memiliki topik obrolan dengan para klien. Sebaliknya perempuan yang tidak menjadi geisha justru tidak bisa membaca ataupun menulis.
Masa Kini
Lipstick pertama di dunia yang dijual secara massal adalah produksi Guerlain di tahun 1870. Awalnya Guerlain adalah bisnis keluarga yang fokus pada produksi parfum dengan segmentasi kelas atas. Bisnis keluarga ini dimulai pada 1828. Sejak itu bermunculan produk-produk kecantikan lainnya.
Saat ini tren makeup dunia dipengaruhi dua kutub yaitu timur dan barat. Timur sendiri adalah Korea. Meski Jepang juga memiliki aliran makeup-nya sendiri tapi aliran makeup Korea lebih populer. Ciri khas dari makeup Korea adalah tampilan yang natural, alis yang lurus, dan kesan awet muda. Sementara makeup barat lebih menonjolkan kontur wajah dengan contour, bronzer, dan highlighter. Makeup barat juga cenderung lebih berat. Perbedaan lain adalah tipikal Asia yang senang menggunakan rias wajah yang membuat kulit terlihat lebih putih.
Makeup di Indonesia sendiri juga banyak dipengaruhi kultur barat maupun tren dari Korea. Namun kebanyakan kosmetik produksi lokal justru belum mampu mengakomodasi warna kulit penggunanya. Shade yang tersedia terlalu terang dan tidak cocok dengan kulit orang Indonesia yang kuning langsat, sawo matang, bahkan gelap. Konsep bahwa cantik itu putih masih melekat kuat baik di sebagian masyarakat maupun di industri kecantikan. Meski harganya bersaing dengan produk luar dan kualitasnya bisa diadu, akan sangat disayangkan bila produsen kosmetik di Indonesia tidak mampu menjangkau seluruh konsumennya terutama soal shade.
Sumber: culture.id