Tentangpuan.com – Matahari masih malu-malu membagi sinar. Sejak pagi, hujan telah lebih dulu membuat sebagian wilayah Bolaang Mongondow (Bolmong) basah dan beraroma tanah.
Rintiknya perlahan menghilang beradu rapalan doa para wisatawan lokal, yang seolah telah janjian memadati jalanan, memburu keindahan Pantai Bungin di tujuh hari usai perayaan Idulfitri 1442 Hijriah.
Bungin memang menyimpan pesona. Garis pantainya yang sangat panjang, tak begitu beda dengan Pantai Kuta di Bali. Akan nampak sempurna jika ada sinar matahari. Cocok untuk dimanfaatkan berswafoto.
Namun, langit cerah atau tidak, sebenarnya tidak begitu berpengaruh pada Konda Makalunsenge, (87), warga Desa Motabang, Kecamatan Lolak, yang masih tetap produktif di usia senja.
Di pondoknya yang terletak di jalur pintu masuk Pantai Bungin, Konda merajut daun kelapa muda dengan penuh semangat. Menyulapnya menjadi tikar, kompe, kodapa dan berbagai kerajinan tangan lainnya. Tak hanya itu, Konda juga membuat atap dari daun rumbia, yang dijual dengan harga Rp.4.000,00 per lembarnya. Semua itu dilakukan Konda untuk menyambung hidup. Terutama, sejak Konda ditinggal wafat suaminya tujuh tahun lalu.
Sebenarnya Konda tak sendirian, Ia memiliki delapan anak. Tak pernah terbesit di benaknya untuk bargantung hidup. Konda tidak ingin menjadi beban, Ia menyadari anak-anaknya bukan orang berada.
“Mereka juga susah. Kasihan kalau harus direpotkan dengan segala kebutuhan saya. Saya masih kuat. Justru sebenarnya saya akan merasa sakit jika tidak bekerja,” kata Konda, saat ditemui Tentangpuan.com, Kamis (20/05/2020).
Kendati usia telah mengambil sebagian penglihatan Konda. Ia tak pernah menyerah. Dengan telaten satu demi satu daun kelapa muda disayat. Sayatannya masih tepat membagi lembar daun terpisah lidi. Ingatan Konda juga masih cukup baik. Ia ingat semua cucunya. Termasuk tak pernah lupa atas kunjungan orang-orang yang berkali datang menemuinya. Mempertanyakan kondisinya untuk dijadikan syarat bisa menerima bantuan, lalu kemudian pergi tak pernah kembali lagi.
“Berseragam, seperti orang kantoran. Entah dari kantor apa. Katanya saya mau dapat bantuan. Ya karna ditanya, jadi saya jawab semua, walau napas sudah mulai tersengal-sengal. Capek juga bicara lama-lama. Maklum sudah tua,” ucap Konda sambil tertawa lepas.
Sebagai manusia biasa yang renta, Konda mengaku tidak menolak bantuan orang, tetapi Konda tidak pernah berharap juga, terlebih dari pemerintah. Konda terbiasa mandiri dan hidup keras.
“Saya sudah ada saat masa penjajahan. Bahkan pernah dimuat dalam mobil Belanda, jadi terbiasa bersyukur atas kesempatan hidup. Ada perhatian dari pemerintah atau tidak, saya tidak akan berkecil hati, atau marah,” ujar Konda.
Di usianya yang tak lagi muda, Konda hanya berharap bisa bekerja, dan tetap berinteraksi dengan semua orang. Tidak dianggap aneh karena sudah tua.
“Ada orang yang datang bertanya harga atap saja, saya sudah senang sekali. Saya hanya ingin diajak bicara, tidak sendirian dan diam saja. Saya tidak ingin dianggap sesuatu yang tidak ada,” harap Konda.