Warga Transmigran Bali di Werdhi Agung Selatan Dukung Gerakan Kakao Demi Pertanian Berkelanjutan

Rumah Sangadi Werdhi Agung Selatan, (Foto: Neno Karlina).

TENTANGPUAN.COM – Potensi pertanian di Desa Werdhi Agung Selatan, Kecamatan Dumoga Tengah, Bolaang Mongondow, saat ini kian menggeliat dengan adanya geliat pembibitan kakao. Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan pasar yang masih tinggi serta hasilnya yang cukup menjanjikan, terutama setelah adanya inovasi pencangkokan.

Desa yang memiliki kurang lebih 500 Kepala Keluarga dengan 1.500 jiwa ini mayoritas warganya merupakan petani ini adalah daerah transmigrasi dari Pulau Bali sejak tahun 1963, di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Menurut Sangadi (Kepala Desa) Werdhi Agung Selatan, I Wayan Supoto, migrasi kala itu dilakukan karena kondisi sosial ekonomi yang sulit akibat meletusnya Gunung Agung di Bali.

“Dulu di Bali satu rumah bisa dihuni lima kepala keluarga. Setelah Gunung Agung meletus, penderitaan luar biasa. Kami dibawa ke Sulut naik kapal laut yang bernama Morotai,” jelasnya.

alih fungsi lahan
Kadek Ganti (47) dan Ni Luh Gunasih (64) sedang bekerja di kebun pembibitan kakao milik Bening Sisil. (Foto: Ronny A. Buol)

Sebagai kepala desa, I Wayan mengungkapkan bahwa saat ini masyarakat tetap menjadikan pertanian sebagai sumber kehidupan utama. Salah satu inisiatif yang digagas bersama PKK adalah pembentukan Kelompok Wanita Tani (KWT) Werdhi Agung Selatan yang saat ini beranggotakan sekitar 30 orang perempuan.

Ia juga menyoroti adanya peluang pertanian yang datang dari luar, termasuk dari para pendatang. “Ada juga warga dari Sulawesi Selatan yang datang, walaupun bukan warga asli sini, tapi mereka melihat peluang. Mereka menjual bibit kakao, durian, lemon hasil cangkokan,” kata Wayan.

Dalam konteks ini, I Wayan mendukung gerakan menanam kakao yang digagas oleh Sisilia“Sisil” Nirasti, perempuan penggerak kakao di wilayah Dumoga. Menurutnya, inisiatif Sisil tak hanya membawa dampak ekonomi, tetapi juga bermanfaat bagi keberlanjutan pertanian di desa.

“Kalau komoditas kakao itu menguntungkan, kenapa saya tidak dukung? Itu pas untuk wilayah saya. Tanaman seperti kelapa dan pala juga cocok. Jadi apa yang dilakukan Sisil itu baik, apalagi kalau bisa menguntungkan warga saya,” tegasnya.

Meski begitu, Wayan juga menyampaikan sejumlah kendala yang masih dihadapi warga petani, terutama soal irigasi. Ia menyoroti masalah berkurangnya debit air di Bendungan Kosinggolan yang makin mempersempit masa tanam padi.

“Saya sudah pernah keluhkan ke Dinas Pertanian dan Dinas PU soal bendungan Kosinggolan. Debit air tidak ditambah, malah berkurang. Air juga dibagi untuk penggunaan tromol. Kami petani tidak berani bersuara lebih. Tapi realitanya, sawah bisa hilang kalau tidak ada air,” ucapnya.

Wayan yang telah bertani sejak tahun 1943 dan kini berusia 66 tahun menambahkan bahwa semangat bertani tetap diwariskan kepada anak-anak muda di desanya.

“Kalau orang Bali, walau sudah kuliah, tetap pulang ke rumah dan kembali ke kebun. Itu pendidikan dari orang tua. Anak-anak tetap dilatih berkebun sejak kecil,” ungkapnya.

Ia berharap pemerintah bisa memberikan perhatian lebih terhadap potensi air yang terbuang dari mata air agar bisa membantu mengairi pertanian warga.

“Semua butuh air. Saya berharap ada kebijakan yang bisa mengadopsi air dari mata air di pegunungan untuk bantu irigasi Kosinggolan. Itu sangat penting untuk pertanian kami,” pungkasnya.