TENTANGPUAN.com – Konsep slow living tidak hanya menyangkut pilihan gaya hidup individu, tetapi juga sangat bergantung pada lingkungan sosial dan tata kota yang mendukung. Hidup lambat membutuhkan ruang, bukan hanya ruang waktu untuk jeda, tetapi juga ruang fisik tempat manusia bisa bernapas, berjalan santai, duduk diam tanpa diusir, dan terhubung dengan sesama. Dalam konteks ini, keberadaan ruang publik yang inklusif dan nyaman menjadi kunci penting. Pertanyaannya: apakah kota-kota kita telah menyediakan ruang yang cukup untuk mendukung ritme hidup yang lebih lambat dan manusiawi?
Di banyak kota besar di Indonesia, ruang publik kerap dikalahkan oleh kebutuhan ekonomi. Trotoar berubah fungsi menjadi lahan parkir, taman menjadi pusat komersial, dan tempat duduk umum semakin jarang ditemukan. Padahal, dalam ekosistem slow living, ruang publik berfungsi sebagai titik jeda dari kesibukan harian, tempat untuk menyendiri sekaligus terkoneksi. Kehadiran taman, jalur pejalan kaki yang aman, ruang terbuka hijau, dan sudut-sudut kota yang ramah anak dan disabilitas mencerminkan sejauh mana kota menghargai kualitas hidup warganya.
Sebuah studi dari Project for Public Spaces menunjukkan bahwa ruang publik yang baik bukan hanya meningkatkan kebahagiaan individu, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan mengurangi tingkat stres masyarakat. Di kota-kota yang ruang publiknya dirancang dengan pendekatan manusiawi, seperti Kopenhagen atau Melbourne, terlihat jelas bagaimana warga merasa lebih leluasa untuk melambat, berkegiatan tanpa tekanan konsumsi, dan menikmati kehidupan kota dengan lebih sadar.
Sayangnya, banyak kota di Indonesia masih memandang ruang publik sebagai sisa ruang, bukan kebutuhan utama. Padahal, keberadaan ruang publik yang terencana dengan baik bisa menjadi solusi atas berbagai masalah urban, dari polusi, kemacetan, hingga isolasi sosial. Ruang publik yang aman dan nyaman juga sangat penting bagi perempuan, anak-anak, lansia, dan kelompok marginal lainnya yang seringkali terpinggirkan dari perencanaan kota berbasis kendaraan dan kapital.
Slow living menuntut kita untuk memperlambat langkah dan kembali merasakan dunia sekitar. Namun, bagaimana bisa seseorang melambat jika harus berebut jalan dengan kendaraan bermotor atau tidak punya tempat aman untuk sekadar duduk menikmati sore? Kota yang ideal bagi slow living bukanlah kota yang sibuk dan padat, melainkan kota yang memberi ruang untuk diam, berpikir, dan bernapas.
Lebih dari itu, ruang publik seharusnya bebas dari tekanan konsumsi. Banyak ruang yang disebut “publik” ternyata hanya tersedia jika kita membeli sesuatu: taman di tengah mal, tempat duduk di kafe, atau sudut-sudut yang penuh iklan. Ini mempersempit makna ruang bersama, karena hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu. Dalam konteks ini, memperjuangkan ruang publik yang gratis, aman, dan layak adalah bentuk advokasi sosial sekaligus bagian dari gerakan hidup lambat yang inklusif.
Menghidupkan slow living dalam konteks perkotaan berarti menata kota bukan untuk mobil, tetapi untuk manusia. Ruang publik adalah infrastruktur emosional, tempat warga bisa merasa hadir dan dilihat tanpa harus bertransaksi. Maka, jika kota kita masih memaksa warganya untuk terus bergerak cepat dan mengonsumsi, barangkali sudah waktunya kita bertanya kembali: kota ini milik siapa, dan untuk siapa ia dibangun?