TENTANGPUAN.com – Malam itu angin semilir seperti mengusap kepalaku, sempat meredakan berisik yang mengganggu dan seperti menyuruhku untuk menonton lagi daftar putar Youtube “On Marissa Mind” di kanal Greatmind.
Marissa, seorang jurnalis yang kemudian menjadi pembaca berita di salah satu stasiun TV ternama di Indonesia. Aku “berkenalan” dengannya saat pandemi yang ku ingat, saat itu diriku sedang dilanda kecemasan.
Sebab pandemi sialan ini memastikan bahwa tidak ada kepastian yang mutlak berhubung saat itu sudah tiga kali terkena Covid-19, ditambah kedua orang tuaku yang sedang mempertimbangkan perceraian mereka.
Dan ibuku yang super sibuk membantu oma (sebutan untuk nenek) berperang dengan penyakit skizofrenia.
Bolak-balik menonton video di Youtube hingga di salah satu episode, Marissa menyebutkan “The Body Keeps The Score”.
Sebetulnya, “The Body Keeps The Score” adalah sebuah buku. Ditulis oleh psikiater dan ahli saraf terkemuka Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, Bessel Van Der Kolk.
Ketertarikan pada minat penelitiannya, Van Der Kolk hendak membawa perubahan besar dalam dunia psikologi khususnya psikologi trauma yang merupakan sub-bidang interdisipliner yang sangat mengandalkan wawasan dari psikologi klinis, perkembangan, dan neuropsikologi untuk memahami dan mengobati dampak kompleks dari pengalaman yang luar biasa.
Buku “The Body Keeps The Score”, secara rinci menjelaskan bahwa trauma tidak hidup hanya melalui hal kasat mata.
Ia bertransformasi menjadi gejala fisik yang dapat membawa individu merasakan sensasi “sakit” di tubuh.
Setelah meriset tentang buku ini melalui internet, aku memutuskan untuk memburunya.
Meski tersedia dalam format Portable Document Format (PDF), hatiku kekeuh untuk mencari bukunya secara fisik dan berbahasa Inggris.
The Body Keeps The Score
Secara mendalam, “The Body Keeps the Score” karya Bessel Van Der Kolk adalah buku revolusioner yang mengubah secara mendalam pemahaman kita tentang trauma psikologis.
Buku ini bersumber dari penelitian dan pengalaman klinisnya selama puluhan tahun untuk menggambarkan bagaimana trauma, tanpa memandang asalnya (misalnya, pelecehan masa kecil, perang, kecelakaan, penelantaran), berdampak besar pada seluruh diri seseorang – otak, pikiran, dan tubuh.
The roots of resilience . . . are to be found in the sense of being understood by and existing in the mind and heart of a loving, attuned, and self-possessed other.Diana Fosha, Psikolog Amerika
Perjalanan membaca buku ini sangat menyenangkan. Rasanya seperti memberi validasi atas susah hati yang aku rasakan sebab aku diberi ruang untuk memahami dan menyadari bahwa kebahagiaan dan kesedihan dapat hidup berdampingan.
Aku menyelesaikan buku ini dalam tiga bulan. Cukup lama dari biasanya, ketika membaca biasanya aku mesti bolak-balik meninjau makna dan membaca literatur lain untuk memperkuat pengaruhnya apakah membaca buku ini dapat mempertajam kebijaksanaanku.
Kutipan di atas merupakan pembuka dari Bagian 3 (The Minds of Children – Pikiran Anak-Anak), Bab 7 (Getting on the same wavelength : Attachment and Attunement – Menemukan frekuensi yang sama: Kelekatan dan Keselarasan)
Kutipan Diana Fosha mengkontruksikan Bab 7 dalam “The Body Keeps The Score” sebagai penegasan dari Van Der Kolk bahwa resiliensi tidak muncul begitu saja dari dalam diri, melainkan sangat bergantung pada pengalaman hubungan yang positif dan mendalam dengan orang lain.
Menyambung catatan perjalanan sebelumnya, hubungan beracun tidak melulu terjadi dalam hubungan romantis bersama pasangan, tetapi juga dapat terjadi dalam keluarga.
Aku ingat betul bagaimana membaca buku ini malah membuatku terjaga semalam suntuk untuk meninjau beberapa literatur. Berikut yang mungkin bisa aku bagi:
Salah satu cabang ilmu psikologi adalah psikologi perkembangan. Sederhananya psikologi perkembangan membahas proses mental manusia sejak dilahirkan hingga meninggal dan dalam konteks tulisan ini, didetilkan pada perubahan perilaku, kognisi, sosial, dan emosi sepanjang rentang hidup.
Salah satu teori yang ada dalam psikologi perkembangan -dan punya kontribusi besar- ialah teori kelekatan (Attachment) yang dipelopori oleh John Bowlby.
Menurut Bowlby, manusia memiliki kebutuhan bawaan untuk membentuk ikatan dengan orang lain demi kelangsungan hidup.
Jujur saja, aku menghela napas panjang ketika menulis ini, khawatir bila tulisan ini justru membuat yang membacanya sakit kepala. Tapi mari kita lanjutkan…
Berefleksi dari teori tersebut, Van Der Kolk melaksanakan beberapa penelitian untuk menemukan hubungan antara pola asuh saat anak-anak dengan model kelekatan individu ketika dewasa. Serta Van Der Kolk ingin menyampaikan betapa pentingnya penyelarasan antara anak dan pengasuh utamanya.
Van Der Kolk menemukan bahwa kelekatan anak dengan figur pengasuh mempengaruhi identitasnya ketika dewasa. Dan dari beberapa bentuk kelekatan, ini tiga hal yang ingin aku bagi.
Pertama, bagi figur pengasuh, kelekatan yang aman (Secure Attachment) dicirikan dengan sensitif, responsif dan menyediakan keamanan serta kepastian bagi anak saat menghadapi tekanan. Bagi anak (yang juga terlihat di masa dewasa), ini dapat dilihat dari kepercayaan diri, harga diri yang positif, pengaturan emosi yang baik, percaya pada orang lain, dan mampu membentuk hubungan yang sehat dan langgeng di masa dewasa. Mereka merasa nyaman dengan keintiman dan kemandirian.
Berlawanan dengan ini, kelekatan yang tidak aman (Insecure Attachment) yang juga populer disebut Avoidant Attachment muncul dari pengasuhan yang tidak konsisten atau lalai dan dapat bermanifestasi sebagai gaya kelekatan cemas, menghindar, atau tidak terorganisir.
Bagi figur pengasuh, ini dicirikan dengan pengasuh yang cenderung tidak responsif, mengabaikan, atau bahkan menolak kebutuhan emosional anak. Mereka mungkin tidak mendorong bahkan melarang anak untuk menangis atau mengekspresikan emosinya.
Bagi anak (yang juga terlihat di masa dewasa) mungkin tampak terlalu percaya diri dan sangat mandiri, tidak nyaman dengan keintiman atau kedekatan emosional. Mereka mungkin menekan emosi mereka sendiri dan kesulitan untuk memercayai orang lain.
Kedua, ada juga satu bentuk kelekatan yang masih termasuk insecure attachment, disebut sebagai ambivalen/melawan (Ambivalent/Resistant) atau populer dengan Anxious Preoccupied Attachment. Figur pengasuh sering kali tidak konsisten dalam memberikan respons.
Terkadang mereka sangat perhatian, terkadang lalai atau mengganggu. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan bagi anak. Pada anak (yang juga nampak ketika dewasa), mereka mungkin mendambakan keintiman tetapi sering kali merasa tidak aman dan takut ditinggalkan.
Mereka bisa menjadi “clingy” atau terlalu bergantung, rentan terhadap kecemburuan, dan berjuang dengan pengaturan emosi, sering kali mencari kepastian yang konstan. Ini terjadi karena anak diperhadapkan dengan kebingungan yang terus menerus dan mengalami stres yang hebat.
Dan, yang ketiga, ada juga kelekatan yang tidak terorganisir (Disorganized Attachment), secara konstan figur pengasuh menunjukkan perilaku yang menakutkan atau ketakutan, sering kali ini terjadi karena trauma mereka sendiri yang belum terselesaikan.
Tindakan mereka tidak konsisten, tidak dapat diprediksi, dan sering kali bertentangan (misalnya, menghibur dan kemudian tiba-tiba menarik diri atau bersikap bermusuhan). Mereka dapat menjadi sumber kenyamanan dan sumber ketakutan.
Pada anak (yang juga nampak ketika dewasa) ini muncul melalui perasaan diri yang terfragmentasi, berjuang dengan masalah kepercayaan yang mendalam, menunjukkan hubungan yang kacau, dan mengalami kesulitan dengan pengaturan emosi.
Mereka mungkin secara bersamaan menginginkan kedekatan dan sangat takut akan hal itu. Disorganized attachment termasuk dalam insecure attachment yang digolongkan paling parah. Ini sering diasosiasikan dengan kejadian luar biasa seperti riwayat trauma dan pelecehan.
Yang membuatku merasa tergelitik, saat sedang berselancar di internet, waktu itu pukul 11 malam, kedua orang tuaku sedang bertengkar hebat di bawah.
Aku menyumbat kedua telingaku dan telunjukku jatuh pada, “Tak Ada Keluarga yang Sempurna” lagu dari Hara. Menempati posisi vokalis di Hara ialah Rara Sekar, kakak kandung Isyana Sarasvati dan tandem Ananda Badudu ketika ia masih di grup musik Banda Neira.
Sebenar-benarnya yang ingin aku sampaikan melalui tulisan ini adalah gejala dari hubungan tidak melulul kekerasan fisik atau hal-hal yang dapat dililhat dengan mata.
Pelecehan dan kekerasan jelas menjadi tanda suatu hubungan beracun, tapi hubungan beracun dapat lebih subtil daripada itu.
Ini dapat berupa perasaan yang terus menerus tidak bahagia, penuh rasa sedih, marah, dan cemas, perkembangan dirinya cenderung mandek, harga dirinya hancur, dan putus hubungan dengan diri sendiri.
Trauma tidak terletak pada kejadian atau situasinya, melainkan pada respons kita terhadapnya. Ironisnya, ketika kita mengira trauma telah berlalu, tubuh kita justru terus menghayatinya.
Dan yang mengerikan bagiku, berkali-kali aku menghadapinya tubuhku terus menghidupkannya kembali.
Bersambung…
Penulis: Eliana Gloria