Laporan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Sulut Terus Mengalir

Ilustrasi generate by Ai.

TENTANGPUAN.com – LSM Swara Parangpuan Sulawesi Utara (Sulut) mencatat bahwa laporan dugaan kekerasan seksual (KS) di lingkungan pendidikan tinggi terus mengalir sepanjang tahun terakhir.

Meski sudah ada regulasi dan instrumen perlindungan yang berlaku, korban masih mengalami kesulitan untuk bersuara, terutama dalam lingkungan kampus.

Vivi George, dari Swara Parangpuan mengungkapkan bahwa laporan-laporan tersebut datang dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa yang menjadi korban dari dosen atau tenaga pendidik lainnya.

“Laporan kekerasan seksual tidak pernah berhenti kami terima, termasuk dari kampus. Korban perempuan masih sangat dominan, dan banyak dari mereka memilih diam karena takut terhadap konsekuensi sosial maupun akademik,” jelasnya.

Vivi menambahkan, relasi kuasa antara pelaku dan korban menjadi hambatan utama dalam pengungkapan kasus.

Tak jarang, korban mendapatkan ancaman tidak akan lulus ujian atau diberi nilai rendah jika tidak menuruti permintaan pelaku.

“Ada korban yang dibujuk, bahkan diancam. Mereka takut dilabeli buruk oleh lingkungan, takut tidak nyaman di kampus, atau bahkan disalahkan oleh teman maupun keluarga. Ini dampak langsung dari budaya patriarki yang masih kuat,” ujar Vivi.

Ia menegaskan pentingnya keberadaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di kampus, sebagaimana dijamin oleh Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.

“Satgas PPKS harus segera bertindak jika ada laporan. Tidak boleh ada toleransi terhadap pelaku kekerasan seksual. Lingkungan pendidikan harus bersih dari pelecehan dan menjadi tempat aman untuk semua, terutama perempuan,” tegasnya.

Swara Parangpuan juga membuka layanan pendampingan hukum dan psikologis bagi korban, serta bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Utara serta UPTD PPA Provinsi Sulut untuk memastikan penanganan yang menyeluruh.

“Kekerasan seksual adalah pelanggaran HAM. Korban butuh perlindungan dan pemulihan, bukan pembiaran. Bila perlu, kasus harus dilanjutkan ke jalur hukum berdasarkan UU No. 12 Tahun 2022,” tambah Vivi.

Pernyataan senada datang dari seorang akademisi perempuan, di salah satu perguruan tinggi di Sulawesi Utara yang enggan disebutkan namanya. Ia mengaku kecewa atas dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan akademik.

“Sebagai akademisi perempuan, tentu dugaan kasus seperti ini mengecewakan karena menekan perempuan sebagai pihak yang dirugikan dan pihak yang dimintai pemaklumannya,” ungkapnya.

Menurutnya, kampus masih belum cukup aman dan responsif dalam merespons kasus-kasus kekerasan seksual.

“Dalam kasus pelecehan seperti ini, belum ada ruang aman bagi perempuan untuk speak up terhadap perlakuan yang tidak nyaman bagi dirinya. Ruang aman yang saya maksud di sini adalah ruang di mana segala sesuatu tentang dirinya bisa terjamin kerahasiaannya dan segala hak keadilan atas dirinya,” jelasnya.

Ia juga menyoroti banyaknya mahasiswa yang memilih diam demi menjaga reputasi pelaku yang memiliki kuasa lebih besar.

“Iya, saya tahu karena banyak mahasiswa yang akhirnya memilih diam dan akhirnya memiliki efek psikologis yang tidak baik ke depannya. Hanya untuk menjaga reputasi dari si pelaku yang memiliki power yang lebih dari dirinya, bahkan menurutnya dapat mengancam masa depannya.”

Kampus seharusnya memberikan efek jera kepada siapa pun yang menyalahgunakan wewenang.

“Kampus dalam hal ini seharusnya ada tindakan dengan efek jera kepada siapa pun civitas akademika yang menyalahgunakan wewenangnya. Dengan tentunya dibarengi dengan kebijaksanaan, bahwa setiap manusia memang penuh kekhilafan, namun tidak semua kekhilafan dapat dimaklumi, terutama yang menyangkut ketidaknyamanan dan kerugian pihak lain, terutama mahasiswa yang menjadi pihak tersebut.”

Ia juga mengungkap bahwa Satgas PPKS sudah dibentuk di kampusnya, namun belum optimal dalam pelaksanaan tugasnya.

“Satgas PPKS sudah ada di kampus, tapi belum optimal dalam pelaksanaan kinerjanya. Hal ini tentu harusnya menjadi perhatian bersama untuk menciptakan ruang aman tersebut, dengan dukungan dari pihak pimpinan tentunya,” tutupnya.