TENTANGPUAN.com – Dunia kesehatan kembali tercoreng oleh kasus kekerasan seksual. Terbaru, seorang dokter kandungan berinisial MSF di Garut, Jawa Barat, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya.
Tak lama sebelumnya, publik juga dikejutkan oleh kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak pasien oleh seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Bandung.
Rentetan Kasus Mengguncang: Tenaga Medis dan Dugaan Kekerasan Seksual
Fenomena ini memicu keprihatinan luas, tak hanya di level nasional, tetapi juga di daerah.
Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) menjadi salah satu yang secara terbuka menyatakan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi potensi kejadian serupa.
“Untuk para tenaga medis, sistem pengawasan yang ada saat ini lebih banyak berkaitan dengan kinerja mereka. Namun, jika ada tenaga kesehatan yang terbukti melakukan kekerasan seksual, maka akan kami tindak tegas,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Bolsel, Saipul Botutihe, Jumat (11/4/2025).
Saipul menyebut bahwa kekerasan seksual merupakan ranah pidana, dan jika terbukti secara hukum, maka pelaku tidak hanya akan diberhentikan secara tidak hormat, tetapi juga akan dicabut izin praktiknya.
Meski belum ada pelatihan khusus tentang pencegahan kekerasan seksual, ia menambahkan bahwa tenaga medis di Bolsel telah mendapat pemahaman etika profesi sejak awal dan mendapatkan siraman rohani setiap Jumat sebagai bentuk edukasi moral.
Upaya Lokal Tangkal Kekerasan: SOP, Pendampingan, dan Kolaborasi Mitra
RSUD Bolsel mengaku telah menerapkan standar pelayanan yang mempertimbangkan aspek gender. Direktur RSUD, dr. Sadli Mokodongan, menyatakan bahwa rumah sakit menjaga etika khusus dalam menangani pasien perempuan.
“Setiap pasien dilayani sesuai jenis layanan dan kebutuhan medisnya. Untuk pasien perempuan, tentu ada etika khusus yang dijaga,” ujarnya, Rabu (16/4/2025).
Jika terdapat dugaan kekerasan seksual, RSUD Bolsel akan melakukan investigasi internal dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Meski belum tersedia tenaga kesehatan jiwa, rumah sakit siap berkonsultasi dengan profesional eksternal bila dibutuhkan.
Di sisi lain, Dinas PPKBP3A Bolsel, lewat Kepala Bidang Perlindungan Anak, Siti Mardatillah Van Gobel, menegaskan kesiapan tim P2TP2A dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Tim tersebut terdiri dari mitra lintas sektor seperti polisi, psikolog, pekerja sosial, dan pengacara.
“Kami membentuk SK P2TP2A, di mana semua mitra siap melakukan visit dan penanganan saat ada laporan,” jelas Siti.
Ia juga menyebut bahwa visum untuk korban kini digratiskan, sebuah kebijakan Bupati yang diambil untuk menghilangkan hambatan pelaporan korban.
Suara Moralitas dari BMR: Tokoh Agama dan Aktivis Bicara
Di tengah kasus yang mengguncang, suara dari tokoh agama dan aktivis di BMR (Bolaang Mongondow Raya) menguat sebagai penegas nilai moral dan kemanusiaan.
Tokoh agama asal Bolsel, Gifranda Mooduto, yang kini menempuh pendidikan di Madinah, menyebut bahwa kekerasan seksual oleh tenaga medis adalah bentuk kelalaian terhadap amanah.
“Mereka yang diberi amanah sebagai pemangku jabatan seringkali lalai. Tapi ingat, mereka tidak akan luput dari pengadilan Tuhan,” tegas Gifranda, mengutip hadits Nabi Muhammad SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Ketua PCNU Bolsel, Muh Thaib Mokobombang, turut bersuara keras: “Rumah sakit seharusnya menjadi tempat perlindungan, bukan malah menjadi ruang terjadinya kekerasan. Ini adalah alarm moral bagi kita semua,” katanya.
Senada, Pendeta Christina Panguliman di Kotamobagu menilai kasus ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sumpah profesi.
“Jika setiap insan melakukan sumpah profesinya dengan sungguh-sungguh, maka ini akan membentengi moral seseorang,” ungkap Christina, Sabtu (12/4/2025).
Relasi Kuasa, Trauma Korban, dan Tantangan Sistem di Daerah
Mega Anastasya Diska Mokoginta, aktivis perempuan dari Kotamobagu, menyuarakan kekhawatiran atas relasi kuasa dalam institusi pendidikan dan keagamaan yang turut menyuburkan kekerasan seksual.
“Menurut riset Komnas Perempuan (2023), kekerasan seksual berbasis relasi kuasa meningkat, terutama di sektor pendidikan dan keagamaan. Ini menjadi hal yang menakutkan karena kekuasaan dan sistem membiarkan mereka seolah-olah kebal hukum,” ungkap Mega.
Ia menyerukan pentingnya kolaborasi komunitas dengan Dinas PPA, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial untuk membangun sistem pencegahan menyeluruh hingga ke tingkat desa.
Dari perspektif psikologis, Mardiah Makapedua, psikolog lokal Kotamobagu, menegaskan dampak berat bagi korban kekerasan seksual.
“Dampaknya dapat memicu trauma mendalam yang berkembang menjadi PTSD. Korban juga sering mengalami perasaan putus asa, rendah diri, dan cemas berlebihan,” jelasnya.
Ia mengusulkan agar fasilitas kesehatan di BMR mulai mengadopsi model perawatan peka trauma dan memperkuat pelatihan tenaga medis serta dukungan multidisipliner.
Terpisah, tenaga medis dari RSUD Kecamatan Lolak, Arman Sani, menggarisbawahi pentingnya pengawasan etik yang lebih aktif.
“Pasien seringkali merasa bergantung pada profesionalisme tenaga medis, sehingga penting untuk menjalankan praktik dengan integritas tinggi,” katanya.
Menurut Arman, komite etik harus berperan aktif menghadapi dilema etik dan menjadi rujukan keputusan hukum demi keselamatan pasien.
Ia menyoroti perlunya edukasi berkelanjutan, penguatan pengawasan, dan peningkatan kapasitas tenaga medis di BMR.
Tanggung Jawab Bersama Mewujudkan Ruang Aman
Kasus kekerasan seksual oleh tenaga medis bukan sekadar persoalan personal seorang pelaku, tetapi merupakan refleksi kegagalan sistem dan moral.
Seruan dari Bolaang Mongondow Raya (BMR) ini menunjukkan bahwa isu ini tak bisa dipandang sebelah mata.
Kekerasan seksual adalah masalah bersama yang hanya bisa diatasi lewat kolaborasi, edukasi, dan keberanian menegakkan hukum.
Di tengah kompleksitas tantangan, BMR menunjukkan bahwa ruang aman bisa terwujud jika semua pihak—pemerintah, tenaga medis, tokoh agama, psikolog, aktivis, dan masyarakat—bergerak bersama.