Tidak Membangunkan Istri Pagi Hari Adalah Wujud Kesetaraan dalam Kerja Perawatan

Grafis: Non

TENTANGPUAN.com – Dalam kehidupan rumah tangga, sering kali cinta dipahami lewat hal-hal besar seperti bekerja keras mencari nafkah, memberi hadiah, atau menyiapkan kejutan di hari ulang tahun. Namun, cinta sejati kadang hadir dalam bentuk yang jauh lebih sederhana, seperti keputusan seorang suami untuk tidak membangunkan istrinya di pagi hari.

Sekilas tampak remeh, tapi jika ditarik dalam konteks sosial dan budaya, tindakan kecil ini adalah bentuk pengakuan terhadap ketimpangan kerja perawatan yang selama ini dibebankan kepada perempuan.

Selama ini, perempuan di Indonesia dan hampir di seluruh dunia dikenal sebagai “yang paling awal bangun dan paling akhir tidur.”

Ia bangun sebelum matahari muncul untuk menyiapkan sarapan, menyapu rumah, menyiapkan anak sekolah, dan memastikan segalanya berjalan lancar. Malamnya, ia baru tidur setelah semua pekerjaan selesai.

Sementara banyak laki-laki masih bisa beristirahat setelah pekerjaan berbayar di luar rumah, perempuan menjalani double burden, kerja publik sekaligus kerja domestik yang tak berupah.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sebuah riset Survei Penggunaan Waktu (Time Use Survey) 2021 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia menghabiskan rata-rata 5,24 jam per hari untuk kerja perawatan tidak berbayar, sementara laki-laki hanya 1,79 jam.

Artinya, perempuan bekerja hampir tiga kali lebih lama dalam urusan domestik. Ketimpangan ini berdampak pada kesempatan perempuan untuk beristirahat, mengembangkan diri, atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan ekonomi.

Ketika perempuan tidur lebih sedikit, bangun lebih cepat, dan bekerja lebih lama tanpa diakui, yang sesungguhnya kita lihat adalah wajah keseharian dari sistem patriarki.

Patriarki membentuk kebiasaan: bahwa perempuan “seharusnya” bangun paling pagi dan menyiapkan segala sesuatu untuk keluarga. Norma ini bukan hanya muncul dari tradisi, tetapi juga diperkuat oleh cara masyarakat memaknai cinta dan tanggung jawab rumah tangga.

Perempuan dianggap baik jika rajin mengurus rumah; sementara laki-laki dianggap cukup berperan dengan “mencari nafkah.”

Dalam kerangka seperti ini, tidur lebih lama bagi perempuan sering diasosiasikan dengan malas, padahal itu hak dasar tubuh — hak untuk istirahat yang layak.

Regulasi nasional sebenarnya telah mengakui pentingnya kesetaraan dalam kerja-kerja perawatan. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen PPPA) No. 6 Tahun 2023 tentang Parameter Responsif Gender dalam Kebijakan dan Program Pembangunan menekankan bahwa pembagian kerja berbasis gender harus diidentifikasi dan diperbaiki melalui kebijakan publik.

Salah satu indikator yang disebutkan adalah pengakuan terhadap kerja perawatan tidak berbayar, yang selama ini lebih banyak dilakukan oleh perempuan, agar tidak lagi dianggap sebagai “tugas alami,” melainkan tanggung jawab sosial yang bisa dibagi secara adil antara laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks rumah tangga, penerapan prinsip kesetaraan ini dapat dimulai dari hal yang sederhana. Tidak membangunkan istri di pagi hari, misalnya, adalah cara suami untuk memberi ruang istirahat dan mengakui bahwa kelelahan istri bukanlah kelemahan, melainkan hasil dari kerja perawatan yang panjang dan melelahkan. Lebih dari itu, tindakan ini juga mengubah paradigma bahwa pekerjaan rumah tangga hanya milik perempuan.

Suami yang bangun lebih dulu dan menyiapkan sarapan, menyiapkan anak ke sekolah, atau menyapu lantai bukanlah “membantu istri”, ia sedang melakukan bagiannya sebagai anggota keluarga yang setara. Ketika hal ini dilakukan secara sadar, rumah menjadi ruang bersama, bukan tempat di mana peran gender dikunci secara turun-temurun.

Perubahan kecil seperti ini memiliki efek besar. Ia menumbuhkan kesadaran bahwa cinta bukan sekadar kata-kata, melainkan praktik yang menghargai waktu dan tenaga pasangan.

Dengan membiarkan istri tidur lebih lama, suami sedang menegaskan bahwa tubuh dan waktu perempuan juga berhak untuk beristirahat, sebuah hak yang selama ini sering diremehkan.

Tindakan sederhana ini juga menjadi bentuk perlawanan terhadap narasi patriarkal yang melekat di banyak rumah tangga, bahwa perempuan yang baik adalah yang selalu siap sedia melayani dari subuh hingga malam.

Padahal, rumah yang sehat justru tumbuh dari pembagian peran yang adil dan saling menghormati kebutuhan masing-masing.

Kesetaraan tidak selalu lahir dari kebijakan besar atau gerakan publik yang masif. Ia juga bisa tumbuh dari tindakan-tindakan kecil yang dilakukan setiap hari. Saat suami tidak membangunkan istri di pagi hari dan memilih menyiapkan sarapan sendiri, ia sedang melatih empati, mengikis dominasi, dan merawat keseimbangan di rumah.

Cinta yang sejati tidak menuntut siapa yang harus lebih dulu bangun atau siapa yang harus selalu melayani.

Cinta sejati adalah ketika dua orang saling memahami bahwa istirahat, kesehatan, dan kebahagiaan adalah hak yang sama.

Maka, biarkan istri tidur lebih lama pagi ini. Sementara aroma kopi yang baru diseduh mengisi dapur, diam-diam cinta sedang bekerja–sederhana, tapi adil.