Perempuan di Garis Depan Krisis Iklim: Saat Sawah Mengering dan Harga Beras Melonjak di Bolaang Mongondow Raya

Ilustrasi (generated by AI).

TENTANGPUAN.com – Dataran luas di Dumoga Raya, Bolaang Mongondow, dulu dikenal sebagai salah satu lumbung beras utama di Sulawesi Utara. Namun kini, sawah-sawah yang dahulu hijau dan subur perlahan berubah menjadi lahan tak pasti. Perubahan cuaca yang ekstrem membuat petani tidak lagi bisa menebak kapan waktu tanam dan panen yang aman. Bagi mereka, iklim kini menjadi lawan yang tak kasat mata namun sangat nyata dampaknya.

Hujan deras yang datang di luar musim membuat banyak sawah tergenang dalam waktu lama. Sebaliknya, saat musim kering datang, air irigasi mengering dan membuat tanaman padi gagal tumbuh sempurna. Dalam dua tahun terakhir, banjir berulang di beberapa kecamatan di Bolaang Mongondow, seperti Dumoga dan Lolayan, menenggelamkan ratusan hektar lahan pertanian. Menurut data BNPB (2024), sedikitnya 300 hektar sawah di wilayah Dumoga Raya sempat terendam akibat luapan sungai yang dipicu curah hujan ekstrem.

Perubahan pola musim ini membuat sistem tanam padi tradisional tidak lagi bisa diandalkan. Dulu petani hanya mengenal dua musim: tanam dan panen. Sekarang, mereka harus menebak-nebak kapan langit akan bersahabat. Banyak petani di Bolaang Mongondow kini hanya berani menanam sekali setahun karena takut gagal. Akibatnya, produksi beras daerah menurun drastis.

Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya suhu udara yang mempercepat penguapan air dan memperlambat pertumbuhan tanaman. Lahan sawah yang sebelumnya mampu menghasilkan enam ton gabah per hektar, kini hanya menghasilkan empat atau lima ton saja. Bagi petani kecil, kehilangan satu ton gabah berarti kehilangan sumber penghasilan utama keluarga mereka selama berbulan-bulan.

Fenomena ini sejalan dengan hasil riset Ansari et al. (2023) berjudul “Impact of Climate Change on Rice Production in Indonesia”, yang menunjukkan bahwa peningkatan suhu rata-rata sebesar 1°C dapat menurunkan produktivitas padi hingga 10%. Riset ini juga menyebutkan bahwa fluktuasi curah hujan ekstrem dan kekeringan menjadi penyebab utama penurunan produksi padi di berbagai daerah agraris Indonesia.

Ketika hasil panen menurun, dampaknya menjalar hingga ke pasar. Di berbagai pasar tradisional di Kotamobagu, harga beras medium kini sudah menembus Rp14.000 per kilogram. Padahal, tahun lalu masih di kisaran Rp11.000.

Menurut Data Badan Pangan Nasional (Oktober 2025), harga beras medium secara nasional rata-rata mencapai Rp13.500 per kilogram, naik sekitar 12% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, harga beras premium bahkan lebih tinggi lagi, mencapai Rp16.000 hingga Rp17.000 per kilogram. Pemerintah melalui Perum Bulog memang berupaya menstabilkan harga dengan menyalurkan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), namun pasokannya sering kali tidak merata di tingkat pedagang kecil. Di banyak desa, ibu rumah tangga mengeluh karena stok beras murah cepat habis sebelum mereka sempat membeli.

Krisis pangan akibat perubahan iklim ini juga berdampak langsung pada perempuan di pedesaan. Mereka bukan hanya kehilangan sumber penghasilan dari hasil tani, tetapi juga harus memutar otak agar dapur tetap berasap.

“Dulu saya bisa simpan beras sampai musim tanam berikutnya, sekarang baru dua bulan sudah habis. Harga di pasar juga naik terus,” ujar Sumiati, petani perempuan di Kecamatan Dumoga Utara.

Selain menanggung beban ekonomi, perempuan di pedesaan juga menghadapi beban ganda: mereka harus tetap mengurus rumah, memastikan anak-anak makan cukup, sambil membantu suami di sawah.

Situasi ini memperlihatkan bagaimana krisis iklim memperdalam ketimpangan gender di sektor pertanian — sebuah kenyataan yang juga ditekankan oleh laporan FAO (2024) bahwa perempuan petani merupakan kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Bagi perempuan di Bolaang Mongondow Raya, tanah bukan sekadar sumber pangan, melainkan ruang hidup dan identitas. Ketika sawah gagal panen, yang hilang bukan hanya pendapatan, tapi juga rasa aman dan kendali atas kehidupan. Banyak perempuan kini terpaksa mencari pekerjaan lain seperti buruh cuci atau penjual makanan demi menutup kebutuhan harian keluarga.

Jika tidak ada langkah adaptasi yang serius, Bolaang Mongondow Raya bisa kehilangan posisinya sebagai salah satu sentra pangan penting di Sulawesi Utara. Kondisi ini juga akan berimbas pada stabilitas harga pangan di wilayah lain, termasuk Manado dan Bitung yang sebagian besar pasokan berasnya berasal dari daerah ini.

Upaya adaptasi perlu segera dilakukan. Pemerintah daerah dapat memperkuat sistem irigasi yang rusak akibat banjir, memperdalam saluran air di sawah, dan memperbaiki tanggul di daerah rawan luapan sungai. Langkah kecil ini bisa mengurangi kerugian saat musim hujan ekstrem tiba.

Selain itu, Dinas Pertanian di tingkat kabupaten dan provinsi perlu memperkenalkan varietas padi tahan panas dan cepat panen. Beberapa daerah di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan telah berhasil menggunakan varietas seperti Inpari 32 dan Inpari IR Nutri Zinc untuk menekan dampak gagal panen. Bolaang Mongondow Raya perlu mengikuti jejak tersebut dengan dukungan riset lokal.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah memberikan edukasi kepada petani tentang praktik pertanian rendah emisi dan efisien air. Metode seperti Alternate Wetting and Drying (AWD) terbukti bisa menghemat air hingga 30% dan mengurangi emisi metana tanpa menurunkan hasil panen. Studi yang dilakukan oleh IRRI (International Rice Research Institute, 2022) menunjukkan metode ini efektif di berbagai daerah tropis Asia.

Namun, adaptasi teknis saja tidak cukup. Pemerintah juga harus memastikan sistem perlindungan sosial pangan bagi keluarga miskin berjalan efektif. Bantuan beras, subsidi pupuk, dan asuransi pertanian perlu disalurkan tepat sasaran agar petani memiliki jaring pengaman ketika gagal panen terjadi.

Krisis iklim di Bolaang Mongondow Raya memperlihatkan wajah paling nyata dari ketimpangan: perempuan yang berada di garis depan produksi pangan justru paling terdampak saat alam berubah. Jika perubahan iklim dibiarkan tanpa respons adil, maka bukan hanya sawah yang kering — tetapi juga masa depan perempuan yang selama ini menjaga kehidupan dari sebutir padi.

Sumber:
Zonautara.com (2024). Banjir Rendam Sawah di Dumoga Raya, Petani Terancam Gagal Panen. Ansari, M. A., et al. (2023). Impact of Climate Change on Rice Production in Indonesia. Journal of Environmental Science and Policy. BNPB (2024). Data Kejadian Banjir di Kabupaten Bolaang Mongondow. Badan Pangan Nasional (2025). Laporan Perkembangan Harga Pangan Nasional, Oktober 2025. FAO (2024). The Status of Women in Agrifood Systems. IRRI (2022). Alternate Wetting and Drying: Climate-Smart Rice Farming Practice.