TENTANGPUAN.com – Kehadiran perempuan dalam aksi demonstrasi sering kali menjadi sorotan publik. Tidak hanya karena jumlah mereka yang semakin signifikan, tetapi juga karena simbolisme kuat yang melekat pada tubuh dan suara perempuan di ruang-ruang perlawanan.
Ada tiga alasan utama mengapa perempuan memiliki peran penting dalam demonstrasi: sebagai tameng massa, sebagai sumber legitimasi moral, dan sekaligus sebagai pihak yang kerap menerima ujaran kebencian.
Pertama, perempuan diposisikan sebagai “tameng” dalam demonstrasi. Kehadiran mereka di barisan depan sering dipandang sebagai strategi massa aksi untuk meredam potensi kekerasan aparat.
Secara psikologis dan sosial, aparat keamanan cenderung dianggap lebih berhati-hati ketika berhadapan dengan perempuan, karena penggunaan kekerasan terhadap perempuan akan lebih mudah menuai kecaman publik.
Penelitian oleh Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA, 2019) mencatat bahwa kehadiran perempuan dalam barisan depan aksi di Asia Tenggara sering dipakai untuk mempersempit ruang legitimasi aparat dalam melakukan tindakan represif.
Kedua, perempuan menghadirkan legitimasi moral yang kuat terhadap tuntutan massa. Perempuan, terutama ibu, sering dilihat sebagai simbol kepedulian, pengorbanan, dan ketulusan. Ketika perempuan menyuarakan tuntutan di jalan, pesan yang dibawa kerap dianggap lebih tulus, lebih mendesak, dan lebih sulit diabaikan.
Riset UN Women (2020) tentang partisipasi perempuan dalam gerakan sosial di Asia menunjukkan bahwa suara perempuan cenderung mendapat perhatian lebih besar karena dipersepsikan membawa nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan.
Namun, posisi ini juga menghadirkan paradoks. Perempuan yang menjadi tameng dalam demo justru sering menjadi target ujaran kebencian. Mereka kerap diserang dengan narasi seksis, direndahkan dengan stereotip gender, bahkan dipersoalkan “kepantasannya” turun ke jalan.
Hal ini berakar dari budaya patriarkal yang masih menempatkan perempuan pada ranah domestik, sehingga ketika mereka tampil di ruang publik dengan perlawanan, keberadaannya dianggap melawan norma sosial yang mapan.
Dengan demikian, perempuan dalam demonstrasi memikul peran ganda: mereka adalah pelindung simbolis sekaligus penguat legitimasi tuntutan massa. Namun pada saat yang sama, mereka juga menjadi sasaran serangan verbal berbasis gender.
Inilah yang membuat partisipasi perempuan dalam demonstrasi tidak hanya penting secara strategis, tetapi juga krusial sebagai cermin perjuangan melawan ketidakadilan struktural yang berlapis.