Keterhubungan dengan Alam Apakah Kita Sudah Mendengarkan Tubuh dan Sekitar?

Ilustrasi
Ilustrasi,(Pixabay.com).

TENTANGPUAN.com – Di tengah gemuruh kehidupan digital dan kesibukan yang tiada henti, manusia modern semakin terputus dari alam, juga dari tubuhnya sendiri. Kita hidup dengan deretan notifikasi, target harian, dan mobilitas tinggi yang seringkali membuat kita lupa bernapas dengan sadar.

Padahal, tubuh manusia memiliki irama alami yang selaras dengan lingkungan sekitarnya. Saat ritme ini diabaikan, dampaknya bisa dirasakan dalam bentuk stres, kecemasan, kelelahan kronis, dan rasa keterasingan yang sulit dijelaskan.

Gaya hidup slow living muncul sebagai respon terhadap keterputusan ini. Salah satu elemen utama dari slow living adalah ajakan untuk kembali terkoneksi dengan alam, tidak harus dalam bentuk pindah ke desa atau bercocok tanam penuh waktu, tetapi bisa sesederhana duduk diam di bawah pohon, berjalan tanpa earphone, atau menyentuh tanah dengan tangan kosong. Kegiatan-kegiatan kecil ini sebenarnya memiliki dampak besar bagi keseimbangan psikis dan emosional kita.

Riset dari University of Michigan (2010) menunjukkan bahwa berjalan selama 15 menit di lingkungan alami, seperti taman atau hutan kota, mampu meningkatkan vitalitas dan fungsi kognitif secara signifikan.

Bahkan, hanya melihat pemandangan alam dari jendela pun dapat membantu proses pemulihan pasien di rumah sakit lebih cepat. Ini membuktikan bahwa tubuh dan pikiran manusia secara biologis memang membutuhkan kehadiran alam sebagai bagian dari proses regulasi diri.

Namun, keterhubungan dengan alam bukan hanya soal kesehatan individu. Ada dimensi ekologis dan sosial yang lebih besar. Semakin banyak manusia yang merasa terhubung dengan lingkungan sekitarnya, semakin tinggi pula kepedulian terhadap pelestarian alam. Menyentuh tanah, merawat tanaman, atau mendengarkan suara burung bisa menumbuhkan rasa memiliki yang pada akhirnya memperkuat kesadaran lingkungan. Ini sangat penting di masa krisis iklim yang membutuhkan tindakan kolektif dari semua lapisan masyarakat.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki akses yang adil terhadap alam. Perkotaan yang padat dan minim ruang hijau membuat interaksi dengan alam menjadi kemewahan tersendiri. Di sisi lain, perempuan dan anak-anak yang tinggal di lingkungan kumuh atau kawasan rawan bencana kerap menjadi kelompok paling rentan, karena keterhubungan mereka dengan alam lebih sering berupa ancaman ketimbang kenyamanan. Di sinilah pentingnya kebijakan kota yang ramah alam dan berpihak pada kelompok rentan.

Kembali mendengarkan tubuh dan sekitar berarti memberi ruang untuk jeda. Jeda yang tidak harus produktif, tidak harus bermakna besar, tapi cukup untuk membuat kita merasa hidup. Ini bisa dimulai dari rutinitas sederhana: menyiram tanaman dengan sadar, menikmati aroma tanah basah setelah hujan, atau membuka jendela di pagi hari sambil memperhatikan langit. Tubuh dan alam sama-sama berbisik—kita hanya perlu berhenti sejenak untuk mendengar.

Dalam dunia yang semakin cepat, mungkin revolusi terbesar justru dimulai dengan melambat. Mendengarkan tubuh dan sekitar bukan pelarian dari tanggung jawab, melainkan bentuk keberanian untuk hadir sepenuhnya—bagi diri, bagi orang lain, dan bagi bumi tempat kita berpijak.