Ketika Perempuan Dumoga Bangkit Lewat Kakao

Nyoman Intisari
Nyoman Intisari, salah satu pekerja di kebun pembibitan kakao milik Sisil, (Foto: Neno Karlina).

TENTANGPUAN.com – Tak banyak yang menyangka bahwa sebuah kebun bibit kakao di Desa Werdhi Agung Selatan, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), bisa menjadi titik balik kehidupan bagi perempuan-perempuan yang sebelumnya tak punya penghasilan tetap.

Kebun yang dirintis oleh Sisilia Ni Wayan Nirasti, atau akrab disapa Sisil, menjadi ruang tumbuh tak hanya bagi tanaman kakao, tetapi juga bagi para perempuan yang selama ini hidup dalam ketergantungan ekonomi.

Kadek Ganti (47), salah satu perempuan yang kini bekerja bersama Sisil, tak ragu menyebut bahwa kehadiran kebun ini mengubah hidupnya.

Kadek Ganti (kiri) bersama Niluh Gunasih sedang bekerja di kebun pembibitan kakao milik Sisil, (Foto: Neno Karlina).

Sebelumnya, Kadek hanya mengurus sapi di kebun dan mencari rumput untuk pakan. Kini, dengan pekerjaan tetap di kebun bibit, ia bisa memperoleh penghasilan harian yang mencukupi kebutuhan keluarga.

“Setelah bekerja di sini saya memiliki penghasilan tetap yang cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Keluarga juga tidak protes. Anak saya tiga, satu sudah menikah, satu masih kelas lima SD. Suami juga tidak keberatan,” ungkap Kadek, Senin (30/7/2025).

Bahkan, menurut Kadek, suaminya kini ikut membantu menggarap lahan milik orang tua. Peran ekonomi dalam keluarga yang dulu hanya dipegang oleh suami kini mulai dibagi. “Kalau dulu saya hanya bisa minta uang, sekarang saya bisa bantu suami kalau dia lagi tidak punya,” katanya sambil tersenyum.

Kadek juga merasa pekerjaan di kebun bibit ini tidak terlalu berat. “Pekerjaannya ringan, hanya mengisi tanah ke polybag atau memindah bibit. Apalagi kalau mau hari raya, dulu saya harus minta-minta uang ke suami. Sekarang tidak lagi. Saya merasa lebih baik,” tambahnya.

Harapan Kadek sederhana. Ia ingin Sisil selalu sehat dan usahanya tetap berjalan lancar. “Kalau usahanya lancar, kami juga tetap kerja dan bisa sejahtera,” ujarnya.

Kehadiran Sisil mengubah kehidupan perempuan desa dengan menjadi lebih mandiri secara ekonomi, (Foto: Neno Karlina).

Cerita serupa datang dari Niluh Gunasih (67). Di usia yang tak lagi muda, ia tetap memilih untuk aktif bekerja di kebun bibit. Ia merasa fisiknya justru makin bugar karena setiap hari beraktivitas.

“Anggap saja olahraga. Saya senang, karena masih bisa bergerak dan merasa berguna. Apalagi saya masih bisa menghasilkan uang sendiri,” kata Niluh dengan penuh semangat.

Upah harian sebesar Rp100 ribu menjadi penghasilan yang cukup bagi Niluh. Tapi yang paling ia syukuri adalah kemurahan hati Sisil yang sering memberi bonus di luar upah tetap. “Selalu dilebihkan,” ujarnya.

Bagi Niluh, hidup tidak selalu mudah. Ia tumbuh dalam keluarga dengan ibu sambung dan mengalami masa kecil yang keras. Namun kini, ia bisa hidup mandiri di usia senja. Lokasi rumahnya yang tidak jauh dari kebun membuat ia merasa beruntung bisa tetap bekerja tanpa harus bepergian jauh.

Menariknya, meski ditawari sistem gaji bulanan, sebagian besar pekerja seperti Kadek dan Niluh lebih memilih dibayar harian. Sisil pun memahami dan mengikuti keinginan mereka. “Rata-rata mereka minta digaji harian, tidak mau digaji bulanan,” jelas Sisil.

Kebun kakao ini bukan sekadar tempat kerja. Ia adalah simbol kemandirian perempuan, ruang aman untuk tumbuh, dan titik terang bagi mereka yang ingin merdeka secara ekonomi. Di bawah kepemimpinan Sisil, tanah kembali berdaya, dan perempuan kembali percaya bahwa usia, latar belakang, atau keterbatasan bukan penghalang untuk hidup bermartabat.