TENTANGPUAN.com – Di tengah modernisasi dan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow, sirih pinang masih menyisakan jejak budaya yang kuat, terutama di kalangan perempuan.
Tradisi mengunyah sirih pinang atau momama’an bukan sekadar kebiasaan turun-temurun, melainkan simbol identitas, penghormatan, dan ruang komunikasi antarperempuan dalam masyarakat Mongondow.
Tradisi yang Membentuk Jati Diri
Dalam struktur sosial suku Mongondow, perempuan memegang peran penting sebagai penjaga nilai-nilai adat.
Salah satu simbol yang melekat dalam peran itu adalah sirih pinang. Sejak dahulu, perempuan dewasa biasa membawa tempat sirih pinang kemana pun mereka pergi—ke kebun, ke acara keluarga, hingga ke prosesi adat.
Sirih pinang disusun dalam satu set: daun sirih, buah pinang yang diiris halus, sedikit kapur, dan kadang dicampur tembakau.
Kombinasi ini tidak hanya menciptakan rasa khas saat dikunyah, tetapi juga membawa nilai-nilai filosofis.
Menurut catatan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB), kebiasaan ini memiliki fungsi sosial penting, sebagai media untuk menjalin hubungan, mempererat solidaritas, dan mewariskan nilai kepada generasi muda (Kemdikbud, 2016).
Ruang Sosial Perempuan
Dalam aktivitas sehari-hari, perempuan Mongondow sering berkumpul di halaman rumah atau di sela istirahat berkebun, mengunyah sirih pinang sambil bertukar cerita dan nasihat. Di ruang ini, momama’an menjadi cara mereka berbagi pengalaman hidup, menguatkan sesama perempuan, dan membangun jaringan sosial yang kokoh.
Kegiatan ini bahkan menjadi semacam “ruang belajar budaya” bagi anak-anak perempuan.
Seorang ibu atau nenek biasanya memperkenalkan tata cara menyusun dan menyuguhkan sirih pinang kepada cucunya, sebagai bagian dari proses pendewasaan dan pewarisan nilai.
Sirih Pinang dalam Adat dan Pernikahan
Sirih pinang juga menempati posisi penting dalam ritual adat, termasuk prosesi pernikahan suku Mongondow.
Dalam upacara yang disebut Pomama’an, mempelai perempuan akan disuapi sirih pinang oleh perwakilan keluarga laki-laki.
Prosesi ini bukan hanya simbol penghormatan, tetapi juga pertanda diterimanya mempelai perempuan dalam keluarga besar suaminya (Lectura: Jurnal Kajian Keagamaan, 2022).
Selain itu, penyajian sirih pinang dalam acara adat selalu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan estetika, karena menjadi cermin dari kepribadian dan keterampilan sosial perempuan yang menyuguhkannya.
Antara Pelestarian dan Perubahan Zaman
Meski tradisi momama’an mulai ditinggalkan oleh generasi muda, terutama di wilayah perkotaan, masih banyak perempuan di pedesaan yang mempertahankan praktik ini.
Beberapa komunitas budaya dan perempuan lokal bahkan mengupayakan revitalisasi makna sirih pinang dalam diskusi budaya dan pelatihan adat.
Bagi banyak perempuan Mongondow, mengunyah sirih pinang bukan sekadar mempertahankan kebiasaan, tapi juga menjadi bentuk perlawanan terhadap pelupaan budaya.
Mereka menjadikan sirih pinang sebagai simbol keteguhan dalam menjaga identitas dan nilai-nilai perempuan lokal.
Referensi
- Balai Pelestarian Nilai Budaya Kemdikbud. (2016). Budaya Menginang di Daerah Irian Jaya, Maluku dan Sulawesi. repositori.kemdikbud.go.id
- Syafitri, L., & Djohari, R. (2022). Sirih Pinang Sebagai Simbol dan Tradisi Masyarakat Adat di Indonesia: Kajian dalam Pernikahan Adat Bolaang Mongondow. Lectura: Jurnal Kajian Keagamaan, Vol. 13(1). ojs.uph.edu