Dari Pekarangan ke Perubahan, Kisah Malla Melawan Krisis Iklim

Ilustrasi generate by ai

TENTANGPUAN.com – Setiap pagi, sebelum mengenakan seragam dinasnya sebagai aparatur sipil negara (ASN), Malla punya satu rutinitas yang tidak pernah ia lewatkan, menyapa halaman belakang rumahnya.

Di tengah pemukiman padat di Kota Manado, Sulawesi Utara, halaman itu bukan sekadar ruang hijau biasa. Di sana, Malla merawat demplot sederhana yang ia bangun sendiri—berisi tanaman tomat, cabai, kangkung, dan bahkan pohon anggur.

Dengan tangan yang terbiasa memegang pena birokrasi, Malla juga piawai menggergaji kayu, memotong seng, dan merakit keranjang takakura. Ia menyapu dedaunan kering, mengumpulkan sisa makanan, dan mengubahnya menjadi pupuk organik.

“Bukan karena saya tahu teori soal lingkungan,” begitu pengakuannya, “tapi karena ini membuat saya merasa lebih hidup.”

Apa yang dilakukan Malla–yang mulai serius berkebun setelah menjalani operasi miom pada 2015–mungkin terlihat sepele. Tapi justru praktik-praktik sederhana inilah yang kini disebut sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim berbasis komunitas.

Perempuan dan Krisis Iklim: Mereka yang Paling Terdampak, Tapi Juga Paling Siap Bertindak

Perubahan iklim kerap dibicarakan dalam angka-angka rumit, emisi karbon, kenaikan suhu global, atau deforestasi. Namun di balik istilah teknis itu, terdapat kehidupan nyata yang terguncang. Dan perempuan, seperti Malla, adalah kelompok yang paling terdampak sekaligus menjadi aktor penting dalam upaya adaptasi iklim.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, krisis iklim memiliki dimensi gender yang kuat. Di banyak negara, perempuan lebih rentan terhadap dampaknya karena memikul tanggung jawab domestik yang besar–mulai dari mengurus anak, memasak, mengelola air bersih, hingga merawat orang tua. Ketika banjir melanda atau kekeringan terjadi, perempuanlah yang pertama kali harus beradaptasi.

Namun ironisnya, meski memegang peran vital dalam kehidupan sehari-hari, perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam kebijakan iklim.

Kebijakan Iklim yang Belum Ramah Gender

Indonesia sebenarnya telah memasukkan isu gender dalam sejumlah dokumen perencanaan, seperti Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan memiliki kebijakan responsif gender.

Namun, menurut berbagai pengamat kebijakan, pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di sektor lingkungan masih bersifat simbolik. Di tingkat lokal, perempuan lebih sering dijadikan “penerima manfaat” ketimbang “perancang kebijakan”.

“Padahal perempuan di wilayah adat dan pedesaan punya pengetahuan lokal yang sangat kaya,” kata seorang aktivis lingkungan di Sulawesi Utara.

“Mereka tahu kapan musim tanam bergeser, bagaimana mengolah hasil hutan non-kayu, atau bagaimana memelihara sumber air. Sayangnya, pengetahuan ini tidak tercatat dalam sistem formal.”

Praktik Sepele yang Berdampak Besar

Apa yang dilakukan Malla bukanlah satu-satunya. Di berbagai kota dan desa di Sulawesi Utara, perempuan-perempuan lain juga menunjukkan aksi nyata. Salah satunya adalah gerakan eco enzim yang digerakkan oleh ibu-ibu rumah tangga di Manado.

Dengan memanfaatkan sisa dapur seperti kulit buah dan air gula, mereka memproduksi cairan eco enzim yang bisa digunakan sebagai pembersih alami, pestisida, hingga pengganti cairan kimia rumah tangga.

Bapelitbangda Kota Manado bahkan mengakui bahwa inisiatif ini membantu mengurangi limbah organik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo, sekaligus menurunkan emisi gas metana.

Ketika Dapur Jadi Medan Pertarungan Iklim

Krisis iklim bukan hanya soal mencairnya es di kutub atau naiknya muka air laut. Bagi perempuan, dampaknya terasa di dapur dan kamar mandi. Ketika musim kemarau berkepanjangan melanda, sumber air mengering. Perempuan harus berjalan lebih jauh, mengorbankan waktu produktif mereka.

Ketika harga sayur melonjak akibat gagal panen, perempuan harus memutar otak agar dapur tetap mengepul. Bahkan dalam kondisi ekstrem, mereka rela tidak makan demi anak-anak dan suami.

Dampak lainnya adalah terganggunya pendidikan anak perempuan. “Dalam situasi darurat ekonomi, anak perempuan sering jadi yang pertama dikorbankan,” ujar seorang guru di Kabupaten Minahasa. “Mereka diminta berhenti sekolah untuk membantu pekerjaan rumah.”

Harapan Ada di Akar Rumput

Malla mungkin tidak tahu istilah “adaptasi perubahan iklim berbasis komunitas.” Namun setiap hari, dari halaman rumah kecilnya, ia sedang menyumbangkan solusi nyata.

Dalam diam, ia mendaur ulang sampah, menanam pangan sendiri, dan menghemat air. Ia sedang menyelamatkan bumi dengan cara yang paling sederhana, dan justru karena itu—paling efektif.

Malla adalah simbol bahwa perubahan besar tidak selalu datang dari ruang konferensi atau pidato pejabat. Terkadang, ia tumbuh diam-diam, di pekarangan rumah, dari tangan perempuan yang tidak menuntut penghargaan apa-apa.

Dan mungkin, dunia hanya butuh lebih banyak Malla.



Peliput: Eliana Gloria