Meski Sudah Masuk KBBI, Mengapa Penggunaan Kata Pelakor dan Pebinor Tidak Tepat dalam Tulisan?

Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com).
Ilustrasi, (Foto: Pixabay.com).

TENTANGPUAN.com – Istilah “pelakor” (perebut laki orang) dan “pebinor” (perebut bini orang) kini telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang menandakan bahwa istilah ini sudah diakui sebagai bagian dari bahasa Indonesia.

Namun, pengakuan ini tidak berarti istilah tersebut tepat digunakan dalam semua konteks, terutama dalam tulisan, baik jurnalistik, akademik, maupun populer.

Meski keberadaannya di KBBI menunjukkan penerimaan secara linguistik, penggunaan “pelakor” dan “pebinor” tetap problematis. Berikut alasan mengapa kata-kata ini sebaiknya dihindari dalam tulisan:

Bermuatan Stigma dan Bias Gender

Istilah “pelakor” lebih sering digunakan dibandingkan “pebinor,” dan penggunaannya cenderung menyasar perempuan. Hal ini mencerminkan bias gender yang kuat di masyarakat, di mana perempuan yang terlibat dalam perselingkuhan mendapat penghakiman sosial yang lebih besar dibandingkan laki-laki.

Padahal, perselingkuhan adalah tanggung jawab bersama, bukan kesalahan sepihak. Label ini memperkuat stereotip bahwa perempuan adalah perusak rumah tangga, sementara laki-laki sering kali dianggap korban atau pihak yang digoda, bukan pelaku aktif.

Mengabaikan Kompleksitas Kasus Perselingkuhan

Perselingkuhan adalah fenomena yang kompleks, sering kali melibatkan dinamika emosional, psikologis, dan sosial yang mendalam. Penggunaan kata-kata seperti “pelakor” atau “pebinor” menyederhanakan masalah ini menjadi narasi hitam-putih yang tidak adil.

Dalam tulisan, terutama yang bersifat jurnalistik atau analitis, penting untuk menggambarkan masalah secara utuh dan objektif.

Penggunaan istilah ini justru mengalihkan fokus dari akar masalah, seperti komunikasi yang buruk atau ketidakharmonisan dalam hubungan.

Tidak Netral dan Memuat Penghakiman

Sebagai istilah yang populer, “pelakor” dan “pebinor” sering kali digunakan dengan nada negatif. Kata-kata ini membawa muatan emosi yang kuat, sehingga berpotensi merusak prinsip objektivitas dalam tulisan.

Dalam karya jurnalistik, misalnya, penggunaan istilah ini bisa memengaruhi pembaca untuk langsung menyalahkan salah satu pihak tanpa melihat konteks atau fakta yang sebenarnya.

Ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga melanggar etika jurnalistik yang mengutamakan keadilan dan keberimbangan.

Memperkuat Diskriminasi Sosial

Meskipun “pebinor” juga ada dalam KBBI, penggunaannya jauh lebih jarang dibandingkan “pelakor.” Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana istilah-istilah tersebut lebih sering digunakan untuk menyerang perempuan, yang memperkuat diskriminasi gender di masyarakat.

Penggunaan istilah ini dalam tulisan dapat memperpetuasi pandangan sosial yang tidak setara, di mana perempuan terus-menerus menjadi objek penghakiman dan laki-laki lebih mudah dimaafkan.

Pengakuan KBBI Bukan Legitimasi Etika

Kata-kata yang masuk dalam KBBI mencerminkan penggunaannya yang meluas di masyarakat, tetapi tidak selalu mencerminkan aspek etis atau moralitas penggunaannya.

Sebagai contoh, banyak istilah dengan konotasi negatif yang diakui dalam KBBI, tetapi tetap tidak pantas digunakan dalam konteks formal atau tulisan yang bertujuan membangun pemahaman dan kesadaran.

Dampak Psikologis bagi Individu yang Terlibat

Istilah “pelakor” dan “pebinor” memiliki dampak psikologis yang serius bagi individu yang disematkan label ini.

Mereka kerap menjadi sasaran perundungan, intimidasi, dan penghakiman sosial, baik di dunia nyata maupun media sosial. Dalam tulisan, penggunaan istilah ini berpotensi memperparah dampak tersebut.

Solusi dan Alternatif Penggunaan Kata

Alih-alih menggunakan istilah seperti “pelakor” atau “pebinor,” tulisan dapat menggunakan kata-kata yang lebih deskriptif dan netral, seperti “pihak ketiga dalam hubungan” atau “pasangan yang terlibat dalam perselingkuhan.”

Pilihan kata ini tidak hanya lebih objektif, tetapi juga membantu pembaca memahami permasalahan tanpa bias.

Meskipun istilah “pelakor” dan “pebinor” telah masuk KBBI, penggunaannya dalam tulisan tetap tidak tepat karena memperkuat stigma sosial, menyederhanakan masalah, dan mengabaikan prinsip netralitas.

Dalam konteks penulisan, penting untuk menggunakan bahasa yang tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga mendorong keadilan, kesetaraan, dan pemahaman yang lebih baik terhadap isu-isu sosial yang kompleks.