Narsis Mekapdangdutan

Narsis
Ilustrasi, (Foto: Pixabay).

TENTANGPUAN.COM – Aroma basah tanah seusai Kotamobagu diguyur hujan lebat begitu memaksa dihudui, langit melankolis dengan dingin lembut, memugar harapan keluar dari persembunyian paling nyaman. Sepotong cake keju, yang kejunya lumer tepat di lekukan bibir tipis seolah baru bisa masuk ke kerongkongan dengan kesepakatan paling mufakat secangkir kopi, hmmmm tunggu dulu. Jangan kopi (aku bukan pecinta kopi, dan mengagumi kemampuan barista), mari kita ganti dengan air mineral–mungkin bagi sebagian orang konvensi kopi ke air mineral akan mengurangi tingkat kekerenan tapi inilah toleransi paling menguntungkan bagiku, air mineral sangatlah menyegarkan, ya menyegarkan dan menyehatkan.

Kekerenan ini kembali diperkurang dengan mata perih tersebab aku yang tanpa ampun bergantian terus menerus bercinta dengan gerai dan laptop, menyedat-nyedat rutinitas seperti kaset macet. Akhirnya mata menyerah butuh sedikit kompromi. Kasihan dia, dia perlu perlakukan adil, sama seperti rindu. Semacam sebuah kesadaran sederhana, bahwa kekasih dan mata tidak dijual di toko-toko.

Aku mendekati rak buku yang kurang lengkap di kamarku. Kali ini tidak ada maksud mengkhatamkan apa-apa (beberapa buah buku bahkan belum terbuka dari plastik), mataku yang lelah tadi, liar mencari-cari bulu mata palsu yang dibeli pekan kemarin dari Reza Ramadan, maksudku dari istrinya.

Aku berdandan seperti siap berselancar menemui rahasia-rahasia malam. Mulai mencintai diriku sendiri: hidung ini, mata bulat yang lelah ini, bibir tipis ini, sungguh tidak bisa dicetak-cetak seperti bata dan tanah. Sekalipun oleh teknologi ala cetak muka yang sekarang menjadikan orang-orang begitu mudah terlihat seragam serupa boneka Barbie. Aku sangat menyayangi diriku sendiri. Ini seperti satu cara mudah untuk mensyukuri apa yang aku punya, tanpa melebih-lebihkan dan memalsu-malsukannya.

Selanjutnya…

Kenarsisan melangitluas di angan terhenti bunyi klakson. Seperti kode yang tak perlu aku pertanyakan maksudnya. Aku tahu itu siapa, dosen yang tak terlihat seperti dosen tapi justru lebih mirip mahasiswa semester I itu datang. Muda, cantik dan cerdas, sahabat yang kerap merengek mandja padaku, lalu garang dengan mahasiswanya: Nur Rezkowati.

Kami berputar-putar mengitari jalanan Kotamobagu, tak peduli di simpang jalan mana berhenti, tertawa-tawa membibirkan kata, seperti sepasang kekasih yang tidak mau tahu apapun. Kami tidak suka cibir membibir, jadi kami memilih mendeskripsikan perjalanan kami saat tidak bertemu, tanpa menyadari malam makin larut, dan kami memutuskan mampir di sebuah warung bakso. Ini semacam ritual wajib dalam setiap pertemuan kami, tidak perduli ada yang sedang diet.

Suara musik dangdut klasik mendayu, menyayat hati, menghipnotis para pengunjung, seperti sedang di pemakaman, hingga seseorang dengan muka memelas, dan mata sayu, meminta lagu Mawar Hitam Iis Dahlia itu, segera diganti. Mungkin dia adalah orang yang paling dihujam perasaannya sendiri dibanding pengunjung lain, lalu ingin buru-buru bunuh diri karena lagu ini, apakah dia patah hati? Barangkali. Dangdut memang music is my country. Aku tidak mau mentidaksopaninya walau sejujurnya aku lebih suka slow rock atau jazz. Untuk beberapa saat aku terbawa ketika melihat abang-abang asik bergoyang melupakan setumpuk beban. Dangdut koplo memang membebaskan beban, dentuman gendang yang energik membuat tubuh ikut bergoyang. Ini tampak sepadan dengan wajahku yang penuh make up.

Nyatanya, aku yang tidak suka make-up dan dangdut kini bermake-up-dangdutan. Kejadian ini, seperti perasaan bahwa ada satu momentum dalam hidup, di mana kita merasa sangat normal dan sangat gila secara bersamaan. Dan itu tidak cukup diterangkan sekadar sebagai adrenalin atau endorphin, sekadar pengaruh hormonal dan letupan kimia otak sesaat. Perasaan bahwa kita makhluk yang penting bagi makhluk lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.