Membaiknya Pandangan tentang Keseteraan Gender di Olimpiade Tokyo

Atlet perempuan
Ilustrasi, (Foto: Pixabay).

TENTANGPUAN.COM – Olimpiade Tokyo 2020 menjadi momen yang baik untuk meningkatnya kesetaraan gender, terutama bagi para atlet perempuan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, atlet perempuan yang bertanding di Olimpiade akan mendapat dukungan lebih besar, mulai jumlah atlet perempuan yang bertanding hingga perubahan kebijakan yang mendukung atlet yang sedang menyusui.

Ketika Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengumumkan pada bulan Maret 2021 bahwa Olimpiade Tokyo akan menjadi Olimpiade pertama yang seimbang gender dalam sejarah, pertanyaan pertama yang muncul adalah: Bagaimana jadinya?

Menjelang pembukaan Olimpiade Tokyo pada 23 Juli 2021, berikut ini bukti Olimpiade memberikan dukungan yang lebih besar bagi atlet perempuan.

  1. Meningkatnya jumlah atlet perempuan
    Menurut IOC, alokasi kuota untuk atlet putri yang berlaga tahun ini hampir 49 persen. Ini termasuk menambah sembilan nomor campuran lebih banyak daripada Olimpiade Rio 2016, termasuk estafet triathlon beregu campuran dan nomor ganda campuran tenis meja.

Selain itu, untuk pertama kalinya, IOC mewajibkan semua 206 Komite Olimpiade Nasional yang mewakili 80 negara, untuk memiliki setidaknya satu perempuan dan satu laki-laki dalam komite. IOC juga telah meminta setiap negara untuk mengirimkan dua atlet sebagai pembawa bendera saat upacara pembukaan, yaitu satu perempuan dan satu laki-laki.

  1. Pemimpin perempuan di dalam komite Olimpiade
    Pada Februari 2021, Seiko Hashimoto menggantikan Yoshiro Mori yang sudah lama menjabat sebagai ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo. Yoshiro pernah berkomentar seksis pada pertemuan untuk membahas peningkatan jumlah perempuan di Komite Penyelenggara Olimpiade Tokyo. Dia mengatakan bahwa perempuan “terlalu banyak bicara”, dan “mengalami kesulitan menyelesaikan masalah dan menjengkelkan”. Yoshiro akhirnya mengundurkan diri karena kasus ini.

Beberapa minggu setelah pengunduran diri Yoshiro, Seiro menyerukan agar persentase perempuan dalam anggota dewan menjadi 40%, sebuah keputusan yang didukung oleh Komite Penyelenggara Olimpiade Tokyo. Keputusan ini akhirnya menambahkan 12 perempuan ke dalam dewan komite, meningkatkan rasio gender menjadi 42% perempuan.

  1. Mengubah kebijakan soal atlet yang sedang menyusui
    Karena protokol COVID-19 yang ketat, penyelenggara awalnya melarang anggota keluarga atlet menghadiri Olimpiade. Hal ini tentu menjadi dilema bagi para ibu menyusui. Pemain bola basket Kanada Kim Gaucher dan pelari jarak jauh AS Aliphine Tuliamuk pun akhirnya angkat suara bahwa mereka “dipaksa” untuk memutuskan antara menjadi ibu menyusui atau atlet Olimpiade.

Namun pada bulan Juni 2021, penyelenggara Olimpiade mengumumkan bahwa atlet yang sedang menyusui diizinkan membawa anak mereka ke Olimpiade Tokyo “bila dirasa perlu”.

  1. Memperkenalkan olahraga baru bagi atlet perempuan
    Skateboard, selancar, dan panjat tebing di Olimpiade bagi atlet perempuan sudah dinantikan sejak dulu. Olahraga ini juga menampilkan atlet perempuan muda dari negara-negara seperti Korea Selatan, Brasil, dan Jepang. Mereka adalah Sky Brown yang berusia 13 tahun, saat ini berada di peringkat ketiga dunia, dan rekan setimnya, Bombette Martin yang berusia 14 tahun, dan keduanya mewakili Inggris Raya. Ada juga pemain skateboard Amerika berusia 17 tahun, Bryce Wettstein.

Sementara dalam cabang olahraga panjat tebing dalam ruangan, 40 pemanjat yang terdiri dari 20 pria dan 20 perempuan akan melakukan debut di Olimpiade Tokyo, termasuk Seo Chae-hyun dari Korea Selatan yang berusia 17 tahun.

Dalam selancar, ada Shino Matsuda yang berusia 18 tahun dari Jepang, dan Caroline Marks yang berusia 19 tahun, yang menjadi peselancar perempuan kedua dari Tim Amerika yang lolos ke Olimpiade.

  1. Merancang sport bra dan kelengkapan olahraga untuk perempuan
    Di Inggris, untuk membantu mengurangi ketidaknyamanan payudara pada atlet perempuan, sekelompok ilmuwan di Institut Olahraga Inggris dan Universitas Portsmouth mulai membuat bra olahraga khusus untuk Tim Inggris menjelang Olimpiade.

Dalam sebuah survei yang dilakukan lembaga tersebut dengan 70 atlet perempuan, 17 di antaranya mengatakan bahwa mereka minum obat untuk mengurangi nyeri payudara, sementara 17 lainnya mengatakan bahwa ketidaknyamanan payudara telah menghambat mereka saat berkompetisi.

Menggunakan teknologi seperti sistem sensor gerak yang ditempatkan di bawah bra, Brogan Horler, Kepala Pengujian Produk di Grup Penelitian Kesehatan Payudara Universitas Portsmouth, mengatakan bahwa bra olahraga mengurangi gerakan payudara dan memberikan pantulan yang lebih baik.

Sumber: womantalk.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.