Tentangpuan.com – Hari-hari terasa menyedihkan. Agustus di pelepah mata, kuasa langit memberinya, ikan-ikan menjadi mati. Bergandengan dengan harapan, para buruh lokal di pabrik semen. Garam yang mahal, membuat aku menangis dan geram. Sialnya, ikan mati (yang diasinin) kesukaan ayahku, meroket mengalahkan, harga ikan yang hidup. Dan aku lupa, di Bolmong, garis pantai membentang sangat panjang.
Beberapa hari sebelum Agustus menetas, suhunya memang sudah panas, wajar jika beberapa merasa terbakar. Sebenarnya, tanpa menjadikan siapa pun tersangka, awalnya sih, sangkaku baik-baik saja. Tapi nyatanya, batok kepalaku masih saja tertinggal di Kotamobagu, digedung-gedung mall dan toko-toko milik asing, dan isinya menjajah hatiku.
Ribuan warga mendemo, naik pitam dan dinaikan keatas kendaraan kepentingan yang beda merek, dan beda tuan. (Semoga yang picik dan licik, yang baik dan patriotis, kebaikan dan keburukan niat, tak lepas dari pencatatan malaikat).Tumpah darah, kedaulatan, harga diri, politik. Diaduk menjadi satu. Menjadi satu suapan pertama, di Agustusku. Rasanya teramat pahit. Namun harus aku telan, sebagai kenyataan hidup.
Bersama satu koma delapan milyar, isu aliran dana asing, yang diduga ikut terasing dalam dompet-dompet dan rekening pret pejabat yang terhormat, setengah gelas kopi, dan foto klise gunung Sembilan, yang tak lagi meruncing gagah dan rimbun hijau.
Aku memaku diri pada kebenaran, kita menuju (atau sedang) menjadi bangsa yang sakit. Kita gemar menempati bangsal-bangsal kapitalis. Dan ho, ho, ho-oh saat diresepkan hutang-import-penjualan aset-aset ke asing. Kita memang gemar meracuni diri. Titik!
Dan hidup berada diantara racun-racun itu, aku dipaksa disekaratkan, saat memimun air sumur yang tercemar. Jadi bagaimana harus bertahan? Mustahil jika aku tidak terbunuh, bahkan saat belum dilahirkan, Agustus ini masih setengah matang. Masih sangat asam, seasam dahulu, ketika kemerdekaan menjadi dambaan dan belum diproklamirkan.
Apa yang hendak ingin dirayakan?
Merayakan rasa haus diatas sumber air beracun? Racun memang dimana-mana. Kue, lilin, perayaan, apa perlu? Pertambangan liar Blok Bakan jadi bom waktu.
Siap memuntahkan rasa marah. Dan aku, berpesta atas duka yang mendalam.
Aku duduk dan menulis banyak hal. Banyak sekali sampai aku menangis. Aku bertanya, kenapa air mataku begitu murah? Padahal, harga bawang begitu mahal.
Ibu, di hatimu aku seluas surga.
Terima kasih atas Agustus ini. Semoga tangis untuk Agustus ini, terselamatkan dalam do’a di sujudmu. Ibu pertiwi, di atasmu, ibuku menangisi tangisku. Semoga segalanya terijzabah, saat waktu memaksaku mengecupmu, Agustusku masih setengah matang.