Pastor Renwarin Sebut Kekuatan Kuliner Minahasa Bukan pada Daging Melainkan pada Bumbu

Pst. Dr. Paul R. Renwarin, (Foto: Neno Karlina Paputungan).

TENTANGPUAN.com – Ketika membicarakan masakan Minahasa, banyak orang langsung terbayang pada daging-daging eksotis seperti babi hutan, biawak, tikus, atau anjing. Namun Pst. Dr. Paul R. Renwarin dari Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng mengingatkan bahwa kekuatan sejati kuliner Minahasa bukan terletak pada daging, tetapi pada bumbunya yakni komposisi rempah, teknik pengolahan, serta nilai budaya yang melekat di balik bumbu tradisional.

“Yang menarik untuk dilihat adalah pola pikir konsumsi, bukan dagingnya, melainkan bumbunya. Karena daging-daging tersebut kalau salah teknik mengolah termasuk perpaduan rempahnya, pasti tidak enak — itu yang saya rasakan sendiri,” ujar Pst. Renwarin pada FGD Penyusunan Pedoman Khotbah Bertemakan Konservasi Satwa Liar di Kotamobagu, Jumat (28/11/2025).

Menurut Renwarin, narasi kuliner yang selalu menonjolkan jenis daging tertentu sebagai identitas utama justru menutupi elemen fundamental dalam budaya makan Minahasa: bumbu. Bumbu khas Minahasa dikenal pedas, aromatik, dan kompleks sehingga mampu menyatukan berbagai bahan–daging, unggas, ikan, maupun hasil laut — menjadi hidangan yang tetap khas.

Ia mencontohkan Bumbu RW yang selama ini identik dengan daging anjing. “Kebanyakan orang melihat kekuatan pada daging eksotis, padahal yang istimewa adalah bumbunya. Buktinya, sekarang sudah ada ayam bumbu RW, bebek bumbu RW, dan rasanya tetap enak karena kekuatan utamanya ada pada bumbu,” jelasnya.

Pst. Renwarin juga menyoroti pentingnya menghidupkan kembali pangan lokal dan mengubah persepsi yang melekat dalam masyarakat.

“Mindset selama ini mengakar bahwa nasi adalah makanan orang kaya dan pangan lokal adalah makanan orang miskin. Juga anggapan bahwa ternak domestik seperti ayam kalah enaknya dibanding satwa liar di hutan,” katanya.

Riset: Kuliner Minahasa Adalah Sistem Budaya

Penelitian kultural terhadap tradisi makanan Minahasa menemukan bahwa nama makanan, kategori masakan, hingga teknik memasak merupakan bagian dari sistem budaya yang sarat makna sosial, ritual, dan identitas.

Istilah-istilah seperti woku, pangi, linulut, rica-rica, bukan sekadar nama, tetapi simbol memori dan identitas masyarakat Minahasa.

Artinya, mempromosikan kuliner Minahasa berarti mempromosikan rasa sekaligus budaya.

Lokatana #4: Panggung yang Menegaskan Kekuatan Bumbu Minahasa

Pandangan tentang pentingnya bumbu dalam kuliner Minahasa menemukan relevansinya dalam penyelenggaraan Lokatana #4 di Kai Meya, Tomohon. Inisiatif budaya ini mengusung konsep dining-theater bertema “Gema Rasa”, menempatkan bumbu dan cita rasa Minahasa sebagai pusat pengalaman sensorial.

Melalui kolaborasi seni, teater, dan kuliner, Lokatana menghadirkan sajian khas Minahasa yang dirangkai dalam alur penceritaan artistik, sehingga pengunjung tidak hanya menikmati hidangan, tetapi memahami filosofi rasa, memori, dan tradisi di baliknya.

Co-founder Lokatana sekaligus pemilik KAI Meya, Carlina Tatiana, menegaskan bahwa perhelatan ini membawa misi edukasi kuliner.

“Tujuan event ini lebih mengedukasi masyarakat tentang budaya bumbu Minahasa dan juga bahwa makanan yang biasanya dipakai untuk satwa liar yang sudah dilarang bisa diganti dengan bahan yang dapat dikonsumsi secara umum — dengan tetap memakai bumbu Minahasa,” ujarnya, Sabtu malam (22/11/2025).

Sebagai ruang kolaborasi antara seniman, koki, komunitas kreatif, dan UMKM lokal, Lokatana menegaskan bahwa kekuatan kuliner Minahasa terletak pada bumbu — selaras dengan pandangan Pst. Renwarin dalam FGD.

Pembina Yayasan Masarang, Jhon Tasirin, juga mengapresiasi antusiasme masyarakat. “Sangat senang dengan antusias peserta yang memilih menjadi tamu dan menikmati sajian yang dibalut dengan teater untuk mengenalkan semua menu,” ujarnya.

Dengan pendekatan sensorial dan naratif, Lokatana #4 mengajak masyarakat melihat kuliner bukan hanya sebagai rasa, tetapi juga hubungan manusia dengan alam, sejarah, dan keberlanjutan.