Mengistirahatkan Tubuh yang Bekerja: Menstruasi, Stigma “Pemalas”, dan Urgensi Kampanye HAKtP

Ilustrator: Non

TENTANGPUAN.com – Ketika perempuan mengalami menstruasi, tubuh sedang menjalani proses biologis yang kompleks pelepasan lapisan endometrium, kontraksi rahim, perubahan hormon, hingga respon inflamasi.

Menjelang dan saat menstruasi, hormon-hormon ini turun drastis. Dampaknya adalah energi berkurang, tubuh terasa berat, suasana hati mulai drop, dan gampang lelah. Namun banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut dan memaksakan perempuan harus sigap setiap saat.

Menstruasi dan Mekanisme Tubuh yang Menguras Energi

Nyeri menstruasi (dysmenorrhea) dan keluarnya darah yang banyak memicu kontraksi rahim yang dimediasi oleh prostaglandin serta reaksi peradangan ringan; efek gabungan ini menyebabkan kram perut, pusing, nyeri tubuh, mual, dan rasa lemas yang membuat banyak perempuan merasa lebih nyaman dan pulih cepat ketika berbaring–itu adalah respons tubuh yang wajar untuk mengurangi beban kerja otot dan kebutuhan energi saat terjadi kehilangan darah dan perubahan hormon.

Penelitian klinis dan tinjauan literatur menunjukkan dysmenorrhea memengaruhi kemampuan berfungsi sehari-hari dan partisipasi pada kegiatan akademik maupun sosial, sehingga istirahat (termasuk berbaring) sering kali merupakan strategi adaptif untuk mengelola gejala.

Prostaglandin, zat kimia yang memicu kontraksi–meningkat drastis pada awal haid dan menjadi penyebab utama nyeri perut, pegal, pusing, hingga kelelahan berat. Sebuah riset oleh Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) menunjukkan bahwa lebih dari 50% perempuan mengalami nyeri menstruasi yang cukup parah hingga mengganggu aktivitas harian, dan sekitar 20% mengalami tingkat nyeri yang membuat mereka sulit beraktivitas normal.

Dengan latar ini, keinginan untuk lebih sering berbaring bukanlah bentuk kemalasan, melainkan respons fisiologis tubuh terhadap rasa sakit serta upaya tubuh untuk memulihkan energi yang terkuras.

Stigma “Perempuan Pemalas” dan Beban Sosial yang Tidak Adil

Sayangnya, di banyak masyarakat termasuk Indonesia, perempuan yang beristirahat saat menstruasi kerap distigmatisasi sebagai “lemah”, “mengada-ada”, atau “pemalas”.

Padahal rasa sakit tersebut nyata dan memiliki dasar ilmiah. Stigma ini lahir dari budaya yang lama memandang kondisi biologis perempuan sebagai sesuatu yang harus disembunyikan, tidak boleh dikeluhkan, dan tidak boleh mengganggu produktivitas.

Akibatnya, perempuan sering memaksakan diri untuk terus bekerja meski tubuhnya sedang tidak mampu.

Narasi ini perlu dibongkar, karena memperkuat beban mental dan fisik yang dialami perempuan setiap bulan, sekaligus mengabaikan kenyataan bahwa menstruasi memengaruhi kualitas hidup dan kapasitas tubuh.

Menegaskan Hak Perempuan atas Tubuhnya melalui Kampanye HAKtP

Kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) perlu ada penegasan tentang hak atas kesehatan tubuh perempuan. Urgensinya adalah mendorong pengakuan bahwa perempuan memiliki hak untuk mendengarkan tubuhnya, beristirahat, dan mendapatkan dukungan tanpa stigma saat menstruasi.

Regulasi nasional seperti Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesehatan reproduksi yang layak, termasuk informasi dan layanan yang mendukung kondisi biologis seperti menstruasi.

Dalam konteks kerja, beberapa perusahaan juga mulai menerapkan cuti menstruasi sebagai wujud pengakuan terhadap kebutuhan fisik perempuan, sejalan dengan arah kebijakan pada UU Ketenagakerjaan.

Melalui perspektif HAKtP, narasi “pemalas” digantikan oleh pemahaman bahwa istirahat adalah bagian dari perawatan diri yang sah, wajar, dan harus dihormati.

Dengan menghubungkan temuan ilmiah, dinamika sosial, dan kerangka regulasi, penting untuk menegaskan bahwa keinginan perempuan untuk berbaring saat menstruasi bukanlah kelemahan, tetapi cara tubuh bekerja menjaga kesehatan.

Menghilangkan stigma sekaligus memperkuat kampanye HAKtP menjadi langkah penting untuk memastikan perempuan dapat hidup dengan martabat, kenyamanan, dan hak penuh atas tubuhnya.

Sumber penulisan artikel ini merujuk pada berbagai riset ilmiah dan dokumen resmi, antara lain tinjauan akademik tentang dismenore dari Iacovides, Avidon & Baker (2015) dalam Human Reproduction Update, penelitian Ju, Jones & Mishra (2014) dalam Epidemiologic Reviews terkait dampak nyeri haid terhadap aktivitas, serta laporan WHO (2022) dan studi Hennegan et al. (2021) mengenai definisi kesehatan menstruasi.

Data mengenai penurunan energi dan kebutuhan istirahat saat menstruasi juga didukung oleh survei internasional yang dipublikasikan PLOS One (2020).

Untuk aspek stigma sosial, artikel merujuk pada laporan UNICEF (2019), UNFPA (2021), dan Plan International (2018) yang menyoroti konstruksi budaya yang menyudutkan perempuan saat menstruasi.

Konteks kampanye HAKtP didukung oleh Catatan Tahunan Komnas Perempuan dan materi kampanye 16 Days of Activism dari UN Women. Adapun dasar regulasi yang digunakan meliputi UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, Permenkes No. 24/2020 tentang Pelayanan Kesehatan Reproduksi, serta UU No. 7/1984 tentang Pengesahan CEDAW yang menegaskan kewajiban negara menghapus diskriminasi, termasuk stigma terkait menstruasi.