TENTANGPUAN.com – Desi–bukan nama sebenarnya–adalah seorang perempuan muda yang dua tahun lalu masih berusia 18. Kini, di tahun 2025, usianya genap 20 tahun, dan ia sudah menyandang status janda. Separuh masa kecilnya dihabiskan di sekolah agama. Ia sempat tinggal di asrama semi pesantren di Madrasah Aliyah, meski hanya bertahan satu semester.
Setelah lulus, Desi melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri di Manado, ibu kota provinsi. Namun kuliah itu tak sempat tuntas. Ia adalah alumni pengajian salafiyah, bahkan pernah menjadi seorang hafidz Qur’an. Cita-citanya sederhana dan suci–ingin mengantar ayah dan ibunya ke surga melalui hafalan Al-Qur’an.
“Katanya kalau hafal Al-quran, kita bisa mengajak ayah ibu sesurga,” ujar Desi lirih.
Menjadi warga di salah satu kelurahan di Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu, Desi yang saat itu belum memiliki konsen penuh sebagai anak dalam menentukan arah hidupnya, akhirnya harus menikah.
Alasannya sederhana, ia kedapatan berada di kamar kos di Manado bersama kekasihnya yang berdomisili di Kotamobagu. Meskipun tak berdua, dan tidak pula dalam kondisi hamil, stigma “tidak pantas” telah lebih dulu menjatuhkan vonis sosial.
Derita itu Datanglah Sudah
Dihantam tekanan dan tudingan dosa, Desi akhirnya menyerah. Letupan cinta pertamanya di usia remaja berubah menjadi beban bersalah. Ayah dan ibunya tak kuasa menolak desakan lingkungan, bahkan kakak perempuannya turut memaksa agar pernikahan segera dilangsungkan.
“Kalau laki-laki dan perempuan jauh dari rumah terus ada di kamar yang sama, jika bukan dosa, lalu apa lagi?” kata kakaknya.
Pemahaman yang keliru tentang “dosa” dan “malu” yang dilegitimasi adat membuat keluarga pihak laki-laki datang meminang, seolah pernikahan adalah cara mencuci nama baik keluarga. Maka menikahlah Desi, dalam usia yang belum genap matang, baik secara tubuh maupun jiwa.
Usianya baru 18 tahun, masih tergolong anak secara hukum. Ia harus bersidang di Pengadilan Agama untuk mengajukan dispensasi nikah.
Padahal, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, usia 18 tahun masih termasuk kategori anak, yakni seseorang yang sedang tumbuh, belajar memahami dirinya, dan mencari bentuk masa depannya.
Pernikahan dini menghentikan semua proses itu. Anak-anak tidak tiba-tiba menjadi orang dewasa hanya karena menikah.
Beberapa bulan setelah menikah, Desi dinyatakan hamil. Namun kebahagiaan itu sekejap sirna ketika ia mengalami keguguran.
Bidan di Puskesmas telah mengingatkan agar ia menunda kehamilan, karena tubuhnya belum siap. Rahimnya belum kuat, panggulnya belum sempurna, dan imunitasnya belum stabil.
Namun ketidaktahuan, bercampur tekanan dari keluarga, membuatnya kembali hamil.
“Kalau menunda bisa jadi banto atau mandul,” kata kakaknya.
Di usia remaja, otak manusia belum sepenuhnya matang dalam mengendalikan emosi dan mengambil keputusan. Desi hidup seperti air yang mengalir, mengikuti arus tekanan dan kebingungan, tanpa daya untuk melawan.
Setelah melahirkan, Desi mengalami masa-masa suram. Ia merasakan perubahan suasana hati yang ekstrem: menangis tanpa sebab, mudah marah, cemas, dan kelelahan, gejala yang dikenal sebagai baby blues. Suaminya jarang pulang, jarang membantu.
Ayah dan ibunya tak paham, mengira Desi hanya “pemarah.” Padahal, yang mereka lihat adalah tanda-tanda kelelahan seorang anak yang dipaksa menjadi ibu.
Menjadi Perempuan Adalah Hancur Berkeping
Hidup Desi kian terpuruk. Suaminya berselingkuh dan menghamili perempuan lain. Dunia Desi runtuh. Ia berhenti sekolah, kehilangan teman, kehilangan masa kecil, dan kehilangan dirinya sendiri.
Pernikahan yang dini telah mencuri seluruh masa depannya dan bahkan merenggut masa kini.
Dengan bantuan orang tua, Desi akhirnya bercerai. Kini ia menjadi janda di usia 20 tahun, dengan seorang bayi di pelukannya.
Di masyarakat yang masih menilai perempuan dari status pernikahan, “janda muda” menjadi stigma yang berat. Ia dianggap gagal, meski sebetulnya adalah korban.
Di lingkungan adat yang kental, menjadi perempuan sering kali berarti siap menanggung luka yang diwariskan oleh tradisi.
Desi menutup diri. Ia jarang keluar rumah, takut pada pandangan orang. Dunia sosial yang seharusnya melindungi, justru menjadi pengadil yang paling kejam.
Hukum sebenarnya berpihak pada Desi. Undang-Undang Perlindungan Anak jelas menyebutkan: anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Tapi hukum sering kalah oleh adat dan tekanan sosial.
Di banyak tempat, termasuk Kotamobagu, pernikahan dini dianggap solusi untuk menjaga nama baik keluarga. Padahal, keputusan itu justru menyeret anak-anak perempuan ke lingkar derita yang panjang.
Dan Desi bukan satu-satunya. Di lorong kecil depan rumahnya, ada Cici–anak perempuan lain yang bernasib serupa. Ia juga menjadi janda muda karena menikah di bawah tekanan sosial.
Kisah Desi dan Cici adalah cermin tentang bagaimana adat dan moralitas sering kali bersatu untuk membungkam suara anak perempuan. Padahal menikahkan anak di bawah umur bukan sekadar urusan adat, tapi soal kemanusiaan.
Ketika tubuh belum siap, ketika emosi masih goyah, dan masa depan masih terbentang luas, pernikahan bukanlah jawaban.
Anak-anak harus dibiarkan tumbuh terlebih dahulu, menjadi manusia yang utuh, berdaya, dan mampu memilih jalannya sendiri.
Bersambung di kisah selanjutnya: Cici dan Cinta Terlarang