Gaya Hidup Netral Karbon: Bisa Nggak Sih Kita ‘Beli’ Jejak Emisi Sendiri?

Ilustrasi,(Foto: generated AI by Pixabay.com).

TENTANGPUAN.com – Pernah nggak kamu berpikir, berapa banyak “jejak karbon” yang kamu tinggalkan setiap hari? Mulai dari menyalakan AC, memesan makanan lewat aplikasi, hingga liburan naik pesawat, semuanya menghasilkan emisi gas rumah kaca yang diam-diam memperparah krisis iklim.

Tapi, kabar baiknya, sekarang ada cara untuk “menebus dosa” karbon itu lewat konsep yang disebut carbon trade atau perdagangan karbon.

Apa Itu Carbon Credit dan Carbon Offset?

Secara sederhana, carbon trade adalah sistem jual beli hak emisi karbon. Dalam sistem ini, satu carbon credit setara dengan izin mengeluarkan satu ton karbon dioksida ke atmosfer.

Perusahaan dan kini bahkan individu bisa “membeli” kredit karbon dari pihak yang berhasil menurunkan atau menyerap emisi, misalnya proyek penanaman pohon, energi terbarukan, atau pengelolaan sampah berkelanjutan.

Nah, di sinilah konsep carbon offset masuk. Artinya, kalau kamu sudah menghasilkan emisi dari aktivitas sehari-hari, kamu bisa menyeimbangkannya dengan berkontribusi pada proyek yang mengurangi karbon di tempat lain.

Misalnya, kamu mendukung program hutan mangrove di Sulawesi Utara atau proyek energi surya di Nusa Tenggara.

Seberapa Besar Emisi dari Aktivitas Kita?

Menurut riset World Bank tahun 2023, rata-rata satu orang Indonesia menghasilkan sekitar 2,3 ton emisi karbon per tahun. Angka ini memang jauh di bawah negara maju, tapi jumlahnya terus naik seiring gaya hidup digital, transportasi pribadi, dan konsumsi energi rumah tangga.

Contohnya, satu perjalanan pulang-pergi Jakarta–Manado dengan pesawat bisa menghasilkan sekitar 700 kg CO₂, atau hampir sepertiga dari total jejak karbon tahunan rata-rata individu.

Bahkan, menonton film selama 2 jam di platform streaming saja bisa menghasilkan emisi setara 200 watt energi listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil.

“Menebus” Emisi: Dari Pohon hingga Panel Surya

Konsep netral karbon bukan berarti kita harus berhenti beraktivitas, tapi bagaimana menyeimbangkan antara yang kita keluarkan dan yang kita kembalikan ke bumi.

Saat ini, sudah banyak platform yang menawarkan program carbon offset untuk publik.

Misalnya, kamu bisa:

  • Menyumbang ke proyek reboisasi di Kalimantan atau Sulawesi.
  • Beli produk lokal dari UMKM yang menerapkan produksi ramah lingkungan.
  • Pakai transportasi publik atau carpool untuk menekan emisi.
  • Investasi kecil-kecilan di energi terbarukan, seperti proyek pembangkit listrik tenaga surya.

Bahkan beberapa maskapai kini memberi opsi “tambahan biaya karbon” ketika membeli tiket, yang akan disalurkan untuk proyek mitigasi emisi.

Gaya hidup rendah karbon sedang naik daun, bukan hanya karena tren, tapi juga karena kesadaran baru bahwa bumi ini punya batas. Memilih pakaian dari bahan sustainable, makan lebih banyak sayur lokal, hingga mengurangi belanja impulsif adalah langkah kecil yang bisa berarti besar.

Kamu nggak perlu langsung sempurna. Cukup mulai dengan hal sederhana: matikan lampu saat tidak digunakan, bawa botol minum sendiri, dan dukung produk yang transparan soal jejak karbonnya.

Carbon trade mungkin terdengar seperti konsep ekonomi global yang rumit, tapi intinya sederhana: ini tentang tanggung jawab atas pilihan kita. Dunia sedang bergerak menuju ekonomi hijau, dan setiap langkah kecil kita bisa menjadi bagian dari perubahan besar itu.

Jadi, bisa nggak sih kita “beli” jejak emisi sendiri? Bisa banget—asal disertai kesadaran untuk menguranginya lebih dulu. Karena pada akhirnya, bumi tak butuh manusia yang sempurna, tapi yang mau berusaha untuk memperbaiki.