TENTANGPUAN.com – Setiap 24 September, masyarakat tani Indonesia memperingati Hari Tani sebagai momentum menagih janji reforma agraria yang sudah 65 tahun diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria 1960.
Namun, di balik tuntutan besar itu, ada wajah lain yang kerap terlupakan: perempuan tani. Mereka menjadi penopang pertanian sekaligus pihak yang paling rentan ketika tanah semakin sempit, digusur, atau dirampas oleh investasi dan proyek pembangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 30 persen tenaga kerja pertanian adalah perempuan. Namun, mayoritas perempuan tidak tercatat sebagai pemilik atau pengelola tanah.
Hak atas lahan umumnya melekat pada suami atau kepala keluarga laki-laki.
Akibatnya, ketika terjadi konflik agraria atau alih fungsi lahan, perempuan sering kehilangan pijakan hidup tanpa mendapat jaminan pengganti.
Perempuan juga menanggung beban ganda. Selain menggarap sawah atau ladang, mereka tetap harus mengurus rumah, anak, dan kebutuhan domestik.
Situasi ini membuat kontribusi mereka dalam sektor pertanian kerap terpinggirkan dari pengakuan resmi negara.
Padahal, keberlangsungan pangan keluarga desa banyak bergantung pada kerja mereka yang tidak pernah dihitung dalam statistik.
Perempuan tani menghadapi persoalan yang lebih berat. Banyak dari mereka terpaksa meninggalkan kebun karena tanah keluarga telah hilang. Salah satunya adalah Sumarni, perempuan petani asal Desa Pindol, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Sumarni (60) kini tinggal di ujung kampung, jauh dari pemukiman lama. Kebun yang ia kelola bersama almarhum suaminya telah tergenang air dan belum diganti rugi.
“Saya kecewa dengan Pemerintah, termasuk Presiden Jokowi. Hari-hari saya menjadi sangat berat. Saya kesulitan memenuhi kebutuhan untuk sekadar bertahan hidup,” katanya, suaranya berat karena derai air mata.
Kehilangan kebun itu bukan sekadar kehilangan mata pencaharian bagi Sumarni: usia tua membuatnya semakin kesulitan untuk memulai dari nol. Meski meminjam lahan kebun lain, lahan itu berada di atas bukit, jauh dan sulit diakses, membuat kondisi fisik dan ekonomi semakin menekan.
“Capek, tangan saya sering sakit sekali. Kadang saya kesulitan berjalan, apalagi lahan yang saya pinjam itu ada di atas bukit. Namun apalah daya, saya harus mengolah lagi dari awal,” keluhnya.
Dari perspektif kebijakan agraria nasional, pernyataan Sumarni diperkuat oleh Kiki atau Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Sulawesi Selatan, yang menyoroti bahwa konflik agraria yang terkait proyek strategis nasional seringkali melupakan beban ganda yang dipikul perempuan.
Menurut Rizki, pembangunan dan pembebasan tanah yang dipaksakan sering tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, padahal mereka banyak terlibat dalam kerja produktif dan reproduktif di lingkungan rumah dan kebun.
“Kerja-kerja reproduksi sosial perempuan, seperti menjaga pendidikan, kesehatan, dan pangan, seringkali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Ketidak-terlibatan ini mengakibatkan pengetahuan lokal perempuan terhenti, dan hilangnya identitas budaya suatu masyarakat,” ujar Rizki.
Lebih jauh, Rizki menyebut bahwa dari tahun 2017 hingga 2023, data KPA mencatat setidaknya 109 perempuan mengalami penganiayaan, 69 dikriminalisasi, satu perempuan tertembak, dan dua tewas dalam mempertahankan tanah mereka.
Fakta ini menjadi cerminan bahwa perjuangan agraria bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga perjuangan hidup kaum perempuan yang seringkali paling terdampak.
Mengaitkan kasus Sumarni dan perjuangan perempuan Pindol dengan Hari Tani, sejumlah poin penting menjadi sorotan:
- Redistribusi tanah dan ganti rugi yang adil
Perempuan seperti Sumarni sangat membutuhkan kejelasan tentang kapan dan bagaimana ganti rugi atas tanah yang hilang akan diselesaikan. Tidak cukup hanya wacana; ganti rugi harus dibayarkan secara penuh dan tepat waktu. - Partisipasi perempuan dalam setiap tahap pembangunan
Baik perencanaan, pengukuran, pembebasan lahan, hingga relokasi dan pemulihan pasca pembangunan harus melibatkan suara perempuan desa. Ini bukan lagi soal “ikut suami”, tapi pengakuan terhadap kapasitas dan hak mereka sendiri. - Perlindungan hukum terhadap konflik agraria dengan perspektif gender
Negara dan aparat perlu memastikan perlindungan hukum yang memadai: tidak ada kriminalisasi terhadap perempuan yang mempertahankan haknya, ada akses keadilan, serta opsi relokasi yang layak bila diperlukan. - Dukungan sosial-ekonomi khusus bagi perempuan terdampak
Termasuk akses ke sarana pertanian, dukungan pendapatan alternatif bila kebun hilang, serta pemulihan kondisi infrastruktur (air bersih, listrik, akses jalan) di lingkungan relokasi atau lahan pengganti. - Reforma Agraria yang menegakkan keadilan gender
Reforma agraria tidak bisa berjalan parsial. Jika pengaturan tanah, kebijakan pertanian, dan proyek pembangunan terus melewatkan aspek perempuan, maka cita-cita keadilan agraria dan kedaulatan pangan akan tetap jauh dari kenyataan.
Hari Tani seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan agraria bukan hanya soal membagi tanah, melainkan juga membangun keadilan gender di pedesaan. Sebab tanpa perempuan, tak ada pertanian yang bisa bertahan.