TENTANGPUAN.com – Kota Kotamobagu dan wilayah Bolaang Mongondow Raya pada umumnya, ikut diguncang oleh kabar dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi terhadap anak pasien.
Meski peristiwa terjadi di luar wilayah, namun berbagai pihak di Kota Kotamobagu, seperti tokoh agama, aktivis, tenaga medis, hingga psikolog, menilai kasus ini menjadi alarm penting bagi dunia kesehatan tak cuma di nasional tapi di daerah.
Pendeta Christina Panguliman, salah satu tokoh agama di Kotamobagu menyoroti serius kejadian tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sumpah profesi tenaga medis.
“Jika setiap insan melakukan sumpah profesinya dengan sungguh-sungguh, maka ini akan membentengi moral seseorang,” tegas Christina Sabtu (12/4/2025).
Christina mengingatkan bahwa meski pelaku adalah oknum, kasus ini harus menjadi peringatan kolektif, khususnya bagi tenaga kesehatan di wilayah Kotamobagu, agar menjaga etika, integritas, dan komitmen pelayanan dengan sepenuh hati.
“Masyarakat membutuhkan pertolonganmu,” pesannya kepada seluruh tenaga medis. Ia berharap kasus ini tidak mematahkan semangat tenaga medis lain dalam mengemban tugas mulia mereka.
Pentingnya Pengawasan Etik di RSUD Lokal
Arman Sani, tenaga medis di RSUD Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, menekankan pentingnya memperkuat sistem pengawasan etik dan hukum di rumah sakit, termasuk di BMR.
“Pasien seringkali merasa bergantung pada profesionalisme dan keputusan tenaga medis, sehingga penting untuk menjalankan praktik dengan integritas tinggi,” ujarnya.
Arman juga menyampaikan bahwa komite etik di fasilitas kesehatan harus aktif memainkan peran dalam menghadapi dilema etik, memberikan panduan hukum, dan memastikan seluruh keputusan berpihak pada keselamatan serta hak pasien.
“Dalam pelatihan, saya pernah mengikuti pembahasan Komite etik dan hukum kepada pasien memainkan peran kunci dalam membantu direktur rumah sakit menghadapi dilema etik,” jelasnya.
Ia menyebut beberapa hal yang perlu diperkuat di fasilitas kesehatan BMR, antara lain edukasi berkelanjutan, penguatan pengawasan, penegakan hukum, dan peningkatan kompetensi tenaga medis.
Relasi Kuasa dan Ancaman di Sektor Pendidikan dan Keagamaan
Mega Anastasya Diska Mokoginta (24), aktivis perempuan lokal dari Kotamobagu, mengaitkan kasus ini dengan fenomena relasi kuasa yang masih kuat dalam institusi pendidikan dan keagamaan di wilayah-wilayah seperti BMR.
“Sayangnya di Indonesia, relasi kuasa sudah sangat mengalir di tubuh para pelaku. Menurut riset Komnas Perempuan (2023), kekerasan seksual berbasis relasi kuasa meningkat, terutama di sektor pendidikan dan keagamaan. Ini menjadi hal yang menakutkan karena kekuasaan dan sistem membiarkan mereka seolah-olah kebal hukum,” tegas Mega.
Mega menekankan pentingnya sosialisasi menyeluruh tentang kekerasan seksual hingga ke desa-desa di wilayah BMR. Ia juga mendorong kolaborasi antara komunitas, Dinas PPA, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial di tingkat kabupaten/kota.
“Perlu ada komunitas yang bekerja sama dengan Dinas PPA, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial dalam rangka pencegahan secara menyeluruh kasus kekerasan seksual di lingkungan kita. Agar harapan mengenai ruang aman bisa tercapai,” ungkapnya.
Dampak Psikologis pada Korban dan Tantangan Pelayanan di Daerah
Psikolog lokal Kotamobagu, Mardiah Makapedua, menyebut bahwa korban kekerasan seksual menghadapi trauma berat yang sering tidak ditangani dengan baik, terutama di daerah dengan keterbatasan layanan psikologis seperti sebagian wilayah BMR.
“Dampaknya dapat memicu reaksi trauma yang mendalam yang nantinya dapat berkembang menjadi PTSD. Korban juga sering mengalami perasaan putus asa, rendah diri, dan cemas berlebihan,” terang Mardiah.
Ia mengusulkan agar fasilitas kesehatan di BMR mulai mengimplementasikan model perawatan yang peka terhadap trauma, termasuk pelatihan tenaga medis dan dukungan multidisipliner.
Seruan dari BMR untuk Nasional
Meski kasus terjadi di luar BMR, berbagai pihak di wilayah ini sepakat bahwa penguatan sistem perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak bisa ditunda. Dunia kesehatan, pendidikan, dan keagamaan di BMR juga perlu melakukan refleksi dan pembenahan.
Kekerasan seksual adalah masalah bersama. Perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak hanya soal moralitas, tetapi juga soal keberadaban. Wilayah BMR, yang dikenal kuat dengan budaya dan solidaritasnya, punya tanggung jawab besar menciptakan ruang aman bagi semua warganya.