TENTANGPUAN.com – Setiap tanggal 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia sebagai momentum untuk memperkuat komitmen melawan korupsi. Di Indonesia, peringatan ini menjadi refleksi penting mengingat korupsi masih menjadi salah satu masalah utama yang menghambat pembangunan, termasuk dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Namun, di balik upaya pemberantasan korupsi, masih ada stigma keliru yang perlu diluruskan, salah satunya adalah anggapan bahwa perempuan, khususnya istri, sering menjadi pemicu tindakan korupsi.
Persepsi ini kerap muncul dalam narasi publik ketika pelaku korupsi ditangkap, di mana gaya hidup istri atau kebutuhan keluarga dianggap sebagai penyebab utama.
Meluruskan Stigma
Peneliti gender dan korupsi mengungkapkan bahwa anggapan tersebut tidak hanya salah, tetapi juga mencederai perjuangan perempuan dalam pemberantasan korupsi.
Korupsi adalah kejahatan struktural yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar dorongan personal, apalagi dari pihak keluarga.
“Stigma seperti ini sangat tidak adil. Alih-alih fokus pada pelaku yang memiliki kuasa dan akses untuk melakukan korupsi, perempuan justru sering dijadikan kambing hitam. Padahal, perempuan sering kali menjadi korban langsung dari dampak korupsi, seperti berkurangnya akses pada layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan keluarga,” ujar Nurhayati, Swara Parangpuan Sulut.
Korupsi dan Dampaknya pada Perempuan
Korupsi memiliki dampak yang sangat besar terhadap perempuan, terutama mereka yang berada dalam kelompok rentan. Ketika anggaran publik diselewengkan, perempuan sering kali kehilangan akses pada program pemberdayaan, bantuan sosial, dan fasilitas publik yang mendukung kesejahteraan mereka.
“Korupsi bukan hanya soal kehilangan uang negara, tetapi juga merampas hak perempuan untuk hidup lebih layak. Dalam konteks ini, perempuan bukanlah penyebab korupsi, melainkan pihak yang paling terdampak,” tambah Nurhayati.
Peran Perempuan dalam Pemberantasan Korupsi
Sebagai pihak yang sering menjadi korban dari praktik korupsi, perempuan memiliki peran penting dalam gerakan pemberantasan korupsi. Perempuan, baik dalam rumah tangga maupun masyarakat, dapat menjadi agen perubahan yang mendorong nilai-nilai integritas.
“Kita perlu mengedukasi masyarakat bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga bagian dari solusi. Dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan, kita dapat membangun sistem yang lebih transparan dan inklusif,” kata Ruth Ketsia Wangkai, Koordinator Gerakan Perempuan Sulut.
Menghapus Stigma, Menguatkan Integritas
Momentum Hari Antikorupsi Sedunia ini hendaknya menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan korupsi harus dilakukan tanpa diskriminasi dan stigma, terutama terhadap perempuan.
Meluruskan narasi keliru adalah langkah awal untuk membangun kesadaran kolektif yang lebih sehat dan adil.
“Korupsi adalah tindakan yang melibatkan sistem dan kekuasaan, bukan karena perempuan atau istri. Stop menyalahkan perempuan, mari fokus pada akar masalahnya,” tutup Ruth.
Dengan menghapus stigma dan memperkuat peran perempuan, diharapkan Indonesia dapat semakin kokoh dalam membangun budaya antikorupsi yang berkeadilan dan inklusif.