Belajar dari Rahmat Algaus, Tidak Seksis dan Menghargai Jurnalis Perempuan

Infografis, Rahmat Ali Algaus, (Tentangpuan.com).
Infografis, Rahmat Ali Algaus, (Tentangpuan.com).

TENTANGPUAN.com – Di tengah perjuangan untuk menegakkan profesionalisme, sejumlah jurnalis perempuan masih menghadapi sikap seksis dari narasumber laki-laki. Dalam tugasnya, seorang jurnalis perempuan sering kali dihadapkan pada perlakuan yang tidak relevan dengan kapabilitasnya sebagai wartawan, bahkan sampai mempertanyakan kompetensinya hanya berdasarkan jenis kelamin.

Seksis itu apa?

Kata seksis sendiri berasal dari istilah seksisme, yang mengacu pada prasangka, diskriminasi, atau stereotip berdasarkan jenis kelamin atau gender. Seksisme seringkali berakar dari pandangan bahwa satu gender (biasanya laki-laki) lebih unggul daripada gender lain (seringkali perempuan).

Dalam konteks profesional atau sosial, sikap seksis biasanya berupa perlakuan yang merendahkan, mempermalukan, atau mengabaikan seseorang hanya karena jenis kelaminnya, yang sering terjadi dalam bentuk candaan, komentar tidak pantas, atau pengabaian kemampuan profesional.

Misalnya, dalam dunia kerja, jurnalis perempuan bisa dianggap kurang kompeten hanya karena mereka perempuan, atau dihadapkan pada komentar-komentar yang tidak pantas terkait penampilan fisik, yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka.

Sebagai jurnalis perempuan, saya sendiri mengalaminya. Ketika saya bertanya terkait isu yang sensitif, alih-alih mendapatkan jawaban serius, narasumber mengalihkan jawaban dengan nada bercanda yang merendahkan. Dalam beberapa kesempatan, narasumber laki-laki sering mengesampingkan pertanyaannya atau bahkan meremehkan keahliannya.

Tidak jarang, saya mengalami sikap direndahkan, di mana narasumber laki-laki membicarakan fisik atau menyampaikan candaan yang tidak pantas. Kejadian semacam ini menggarisbawahi bagaimana stereotip terhadap perempuan masih mengakar kuat.

Bagi beberapa narasumber, jurnalis perempuan kerap dianggap lebih lemah atau kurang kompeten daripada jurnalis laki-laki, sehingga sikap profesional dari narasumber sering tergantikan dengan candaan atau komentar merendahkan yang tidak relevan dengan tema wawancara.

Saya terkadang dianggap tidak memahami hal-hal teknis, padahal itu sudah menjadi bagian dari riset saya. Sikap seperti ini, tidak hanya mengganggu secara pribadi, tetapi juga menghambat jalannya wawancara dan kualitas hasil liputan.

Belajar dari Rahmat Algaus

Pengalaman berbeda, saya temukan ketika mewawancarai Rahmat Ali Algaus. Seorang laki-laki yang kerap mendampingi warga Bolaang Mongondow dalam memperjuangkan hak dan kesejahteraan. Seseorang yang cukup menggemparkan dunia maya, sebab meninggal dengan cara yang mengerikan; dibunuh!!!

Tentulah kabar tersebut membuat saya terguncang dan berduka. Bukan tanpa alasan. Sebagai jurnalis perempuan, dia adalah teman diskusi yang baik. Sebagai narasumber atau sekadar teman diskusi, dia selalu fokus pada pertanyaan yang diajukan dan memperlakukan saya sangat profesional.

Almarhum, sangat menjunjung prinsip profesionalisme, tidak menghina martabat, dan merusak kualitas komunikasi. Sepanjang yang saya catat, almarhum telah melakukan 5 hal penting yang seharusnya wajib diteladani oleh para laki-laki di tanah Bolaang Mongondow Raya. Terutama, laki-laki yang bekerja di ranah publik.

Menghormati Profesionalisme Jurnalis

Jurnalis perempuan menjalankan tugas dengan profesionalitas yang sama dengan rekan laki-lakinya. Menganggap mereka secara berbeda atau merendahkan kemampuannya hanya berdasarkan jenis kelamin adalah bentuk pelecehan yang tidak etis dan tidak menghormati keahlian mereka.

Menghambat Kualitas Informasi dan Wawancara

Sikap seksis dapat menghalangi alur wawancara yang seharusnya objektif dan fokus pada konten. Ketika narasumber tidak menghormati atau meremehkan jurnalis, itu bisa membuat mereka merasa tidak nyaman, dan hasil wawancara bisa terganggu. Hal ini pada akhirnya merugikan kualitas informasi yang disampaikan kepada publik.

Melanggengkan Stereotip Gender

Sikap seksis memperkuat stereotip bahwa perempuan kurang kompeten atau tidak serius, yang tidak hanya merugikan jurnalis yang bersangkutan tetapi juga memperburuk pandangan masyarakat terhadap perempuan dalam dunia profesional.

Menyalahi Norma Etika dan Kesetaraan Gender

Norma etika dalam berbagai profesi mengedepankan kesetaraan dan rasa hormat terhadap setiap individu. Dalam konteks wawancara, sikap seksis melanggar nilai-nilai ini dan berpotensi merusak reputasi narasumber dan institusinya.

Memengaruhi Kehidupan Profesional dan Pribadi Jurnalis

Sikap seksis dapat menimbulkan dampak psikologis negatif bagi jurnalis perempuan, mengganggu kenyamanan dan produktivitas kerja mereka, serta berisiko memperlemah kepercayaan diri.

Seharusnya sebagai seorang narasumber, laki-laki memiliki tanggung jawab untuk memberikan jawaban yang relevan, profesional, dan saling menghormati. Sikap seksis tidak hanya tidak pantas tetapi juga bertentangan dengan semangat kesetaraan dan saling menghargai dalam dunia kerja.

Sebab, perlakuan seksis semacam ini mencerminkan bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi jurnalis perempuan dalam dunia jurnalistik.

Tanpa dukungan penuh untuk menghormati profesionalisme jurnalis perempuan, situasi ini bisa terus menjadi penghalang bagi perempuan untuk bebas menjalankan tugas jurnalistik mereka.

Di sinilah pentingnya mengedepankan kesadaran dan penghormatan terhadap profesionalisme tanpa memandang jenis kelamin, seperti yang telah dicontohkan almarhum Rahmat Ali Algaus, Al-Fateha!

Opini di atas ditulis: Neno Karlina, Jurnalis Perempuan Sulut

Leave a Reply

Your email address will not be published.