TENTANGPUAN.com – Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Lolak di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, telah menghadirkan tantangan besar bagi warga Desa Pindol, terutama perempuan seperti Diana Damonggalad (52).
Diana bersama suaminya, Ustad Paputungan, adalah contoh nyata dari masyarakat kecil yang terkena dampak langsung dari proyek tersebut.
Lahan kebun mereka yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan kini tergenang air, tanpa adanya kompensasi yang memadai.
Melalui laporan ini, kita akan mendalami bagaimana mereka berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi, serta peran penting perempuan dalam mengatasi dampak krisis yang disebabkan oleh pembangunan besar.
Kebun yang Tergenang dan Tak Terbayar
Ustad Paputungan adalah salah satu dari sekian banyak warga Desa Pindol yang lahan kebunnya terdampak oleh pembangunan Bendungan Lolak.
Kebunnya seluas dua hektar kini tak lagi bisa digarap, tergenang air akibat bendungan yang letaknya tidak jauh dari lahan tersebut.
Sebelumnya, kebun itu menjadi sumber penghidupan utama bagi Ustad dan keluarganya. Dari hasil kebun palawija, mereka mampu memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Namun, setelah kebun itu tenggelam, keluarga ini kehilangan salah satu pilar penting ekonomi mereka.
“Dua hektar lahan kebun saya tergenang air dari bendungan. Karena lahan itu juga dekat dengan PSN Bendungan Lolak, sekarang tidak bisa digarap lagi. Kami tidak bisa sembarangan masuk, dan akses jalan pun tidak ada,” ujar Ustad Paputungan, Selasa, 10 September 2024.
Permasalahan yang dihadapi Ustad tidak berhenti di situ. Sejak 2021, ia memperjuangkan agar lahannya dibayar sebagai bentuk kompensasi dari pemerintah. Namun hingga kini, belum ada kepastian pembayaran yang ia terima, meskipun berbagai perhitungan dan survei telah dilakukan.
“Ketika pembebasan lahan, kebun saya tidak termasuk dalam daftar ganti rugi, karena menurut mereka, lahannya jauh dari bendungan. Tapi sekarang, faktanya kebun saya tenggelam,” jelas Ustad.
Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan bersama pihak kehutanan (KPH), nilai kerugian atas tanaman palawija di lahan tersebut diperkirakan mencapai Rp600 juta. Namun, meskipun sudah dilakukan beberapa kali perhitungan, kompensasi itu tak kunjung diberikan. Ustad merasa terabaikan oleh janji-janji yang pernah diutarakan oleh pejabat daerah.
“Padahal, Gubernur waktu datang ke sini sempat bilang: bahkan rumput jika itu milik warga, maka akan dibayar. Begitu juga mantan Pj Bupati Bolmong, Limi Mokodompit, dan Ketua DPRD, Welty Komaling, tapi sampai sekarang nyatanya tidak ada,” keluh Ustad.
Perempuan dalam Bayang-bayang Ketidakpastian Ekonomi
Di balik perjuangan Ustad Paputungan, Diana Damonggalad sebagai istri dan ibu juga turut merasakan dampaknya. Perempuan seperti Diana memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan ekonomi keluarga, terutama ketika sumber utama penghidupan, yakni kebun mereka, hilang akibat bendungan.
“Kalau dulu masih ada kebun, kebutuhan sehari-hari masih tercukupi. Tapi setelah kebun kami hilang, kami kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi,” ujar Diana.
Hilangnya kebun berarti hilangnya stabilitas ekonomi keluarga. Sebagai seorang istri yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rumah tangga, Diana kini harus mencari cara lain untuk bertahan hidup. Bersama suaminya, mereka mencoba mobajet atau mendulang emas di Sungai Desa Totabuan. Namun, hasil dari pekerjaan tersebut sangat tidak menentu. Tidak setiap hari mereka pulang dengan penghasilan, terkadang mereka pulang dengan tangan kosong.
“Kami tinggal pergi ke sungai atau mendulang emas agar ada uang. Tapi kadang ada hasil, kadang tidak ada,” kata Diana dengan nada prihatin.
Kehadiran bendungan yang seharusnya membawa kemakmuran bagi warga sekitar, justru menjadi sumber masalah bagi Diana dan keluarganya. Ketidakpastian ekonomi ini memaksa mereka untuk bergantung pada pekerjaan sementara yang tidak menjanjikan kepastian. Diana menyadari bahwa perempuan di desanya, terutama yang terdampak langsung oleh proyek tersebut, semakin terpinggirkan.
Janji Pemerintah yang Tak Kunjung Tiba
Selain perjuangan ekonomi yang tak mudah, Diana dan Ustad juga merasa diabaikan oleh pemerintah yang seharusnya melindungi hak-hak mereka sebagai warga terdampak. Janji-janji ganti rugi yang sebelumnya diucapkan oleh sejumlah pejabat daerah, termasuk mantan Pj Bupati Bolmong, Limi Mokodompit, dan Ketua DPRD, Welty Komaling, hingga kini tidak pernah terealisasi. Harapan yang semula besar kini perlahan memudar, seiring dengan ketidakpastian yang terus menghantui mereka.
“Kalau memang bendungan dibangun untuk kebaikan, seharusnya tidak mematikan potensi hidup kami di sini,” tegas Diana.
Keluarga ini merasa bingung harus mengadu kepada siapa, mengingat segala upaya yang telah mereka lakukan untuk menuntut hak mereka belum membuahkan hasil. Janji gubernur bahwa semua aset, termasuk rumput, milik warga akan dibayar, juga tidak pernah direalisasikan. Ustad dan Diana kini hanya bisa berharap ada pihak yang peduli dengan nasib mereka.
Sementara itu, Kepala Desa Pindol, Muslim Paputungan mengatakan jika pihaknya selalu mendorong perempuan di desa untuk berkembang dan berdaya. Hanya saja, sebagai Kepala Desa, Muslim mengaku tidak bisa berbuat banyak.
“PSN Bendungan Lolak, harusnya mendatangkan manfaat bagi desa, misalnya potensi wisata. Sebagai pemerintah saya sudah berusaha, namun saya itu harus taat aturan, di atas saya masih ada. Begitupun ketika saya mengeluhkan kondisi masyarakat yang terdampak bendungan, pasti yang di kabupaten, misalnya, akan bilang di atas mereka, masih ada lagi,” kata Muslim, Selasa, (17/9/2024) saat ditemui di kantor desa.
Kendati demikian, Muslim mengaku berusaha membuat program yang berpihak pada pemberdayaan perempuan, yang sekarang ini ada di dalam RPJMDes.
“Ya kami juga tidak bisa serta-merta, karena sumberdaya manusia yang kurang. Yang pasti kami berusaha lewat RPJMDes untuk mnghadirkan program yang berpihak pada peninggkatan perempuan, terutama ekonomi,” ucapnya.
Dampak Lebih Luas Terhadap Perempuan Desa Pindol
Diana Damonggalad tidak sendirian dalam menghadapi krisis ini. Banyak perempuan lain di Desa Pindol yang juga merasakan dampak buruk dari pembangunan bendungan.
Bagi perempuan desa, kebun bukan hanya soal penghasilan ekonomi, tetapi juga ruang bagi mereka untuk menjalankan peran penting dalam menjaga ketahanan pangan keluarga. Dengan hilangnya kebun, perempuan-perempuan ini kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini mereka andalkan.
Perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak dalam krisis ekonomi, terutama di pedesaan. Mereka tidak hanya berjuang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi juga harus mencari cara untuk menjaga kesejahteraan mental dan emosional keluarga di tengah tekanan yang ada.
Diana dan perempuan-perempuan lainnya di Desa Pindol kini harus menghadapi kenyataan bahwa proyek besar yang seharusnya menguntungkan, justru meminggirkan kehidupan mereka.
Kisah Diana Damonggalad dan Ustad Paputungan adalah potret dari bagaimana sebuah proyek besar seperti Bendungan Lolak dapat berdampak serius pada kehidupan warga kecil, terutama perempuan yang berada di garis depan dalam menjaga kesejahteraan keluarga.
Lahan kebun yang tergenang air tanpa adanya kompensasi yang jelas membuat mereka kehilangan sumber penghidupan. Sementara itu, janji-janji pemerintah yang tidak kunjung terwujud membuat mereka semakin putus asa.
Perjuangan ini menunjukkan bahwa di balik pembangunan infrastruktur besar, ada cerita-cerita kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian lebih. Perempuan seperti Diana berharap agar pemerintah tidak hanya melihat proyek strategis dari sisi pembangunan semata, tetapi juga memperhatikan nasib warga yang terdampak, terutama mereka yang bergantung pada lahan untuk bertahan hidup. Bendungan boleh jadi menghadirkan kemajuan, tetapi jangan sampai kemajuan itu menenggelamkan harapan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya.