Wajah Taman Kota Kotamobagu dan Hak Perempuan atas Ruang Publik

Suasana di taman kota Kotamobagu, (Foto: Neno Karlina).

TENTANGPUAN.com – Hampir setiap hari, Fauzi Lantong, siswa SMA Negeri 3 Kotamobagu, menghabiskan waktu di sebuah taman kota di pusat Kotamobagu. Berasal dari Desa Bongkudai, Kecamatan Boltim, mikro menjadi satu-satunya alternatif transportasi yang harus ia tumpangi untuk pulang-pergi ke sekolah.

Karena itu, taman kota di depan Kantor Pengadilan Negeri Kotamobagu menjadi titik tunggu yang penting bagi aktivitasnya.

“Di sini sejuk, masih ada pepohonan. Banyak juga anak sekolah yang singgah,” kata Fauzi, Rabu (17/12/2025).

Meski sudah hampir tiga tahun menunggu mikro di lokasi tersebut, Fauzi mengaku tidak pernah mengetahui nama resmi taman itu.

Fauzi Lantong, siswa SMA Negeri 3 Kotamobagu, (Foto: Neno Karlina).

Ia hanya mendengar dari teman-temannya bahwa taman tersebut kerap disebut sebagai “taman depan pengadilan”.

“Ya, mungkin karena berada di depan kantor pengadilan,” ujar Herman, pedagang es yang telah belasan tahun berjualan di sekitar area taman saat ditemui Tentangpuan.com secara terpisah.

Herman menjelaskan, tidak adanya papan nama atau penanda resmi membuat masyarakat sulit mengenali identitas taman tersebut sebagai ruang terbuka hijau milik publik. Hal ini, menurutnya, turut memengaruhi cara masyarakat memandang dan memanfaatkan taman.

Suasana Taman Kota Kotamobagu saat siang hari, (Foto: Neno Karlina).

Kondisi tersebut dibenarkan oleh Aping Dondo, seorang pengemudi ojek online yang kerap menunggu penumpang di sekitar taman. Aping mengatakan, pada siang hari taman kota menjadi ruang terbuka hijau yang hidup, khususnya bagi pelajar.

“Taman ini sangat berguna bagi anak sekolah. Banyaknya jajanan yang dijual dengan harga terjangkau juga membuat UMKM juga bisa berkembang,” kata Aping.

Hanya saja, wajah taman berubah drastis saat malam hari. Stigma buruk terlanjur melekat, karena taman kerap diasosiasikan sebagai lokasi praktik pekerja seks komersial (PSK) ilegal.

“Pernah saya duduk di sana, tapi tiba-tiba ada yang menawarkan jasa. Dan sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum,” jelas Aping.

Belasan tahun jualan, Herman tidak tahu nama taman, (Foto: Neno Karlina).

Meski tidak seramai beberapa tahun lalu, Aping meyakini aktivitas tersebut masih terjadi, terutama ketika tidak ada operasi penertiban dari Satuan Polisi Pamong Praja.

“Mereka itu sudah tahu kapan razia, sehingga ada waktu tertentu mereka tetap beraktifitas,” kata Aping.

Kondisi ini sangat disayangkan oleh Ceri Mokoginta (17), siswi SMA Negeri 3 Kotamobagu. Sebagai perempuan, Ceri menilai taman kota seharusnya menjadi ruang publik yang aman dan inklusif, bukan justru menimbulkan rasa tidak nyaman, khususnya bagi anak perempuan.

“Padahal, taman ini sangat bagus. Bisa jajan dengan murah, berteduh atau mungkin mencari inspirasi, hanya saja waktunya terbatas. Tidak bisa bebas hingga malam berada di taman ini. Sebab, bisa saja kita akan dianggap menawarkan jasa,” ungkap Ceri.

Ceri yang ditemui saat bersama Fauzi ini berharap, pemerintah daerah dapat mengembalikan fungsi taman kota sebagai ruang publik yang ramah dan aman, dengan menghadirkan aktivitas positif yang melibatkan anak muda.

“Ya kan, kalau di daerah lain, taman kota malah jadi tempat pentas, tempat orang menyalurkan ekspresi, tempat anak muda berkarya.”

Masjid Agung Baitul Makmur terlihat dari taman kota Kotamobagu, (Foto: Neno Karlina).

RTH dan Hak Perempuan atas Ruang Publik

Secara regulasi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan setiap kota memiliki minimal 30 persen ruang terbuka hijau, dengan fungsi ekologis, sosial, dan budaya. RTH bukan hanya soal ruang hijau, tetapi juga ruang sosial yang aman, nyaman, dan dapat diakses semua kelompok, termasuk perempuan dan anak.

Berbagai riset menunjukkan bahwa rasa aman perempuan di ruang publik sangat dipengaruhi oleh pencahayaan, aktivitas sosial yang positif, kehadiran petugas, serta desain ruang yang responsif gender. Studi UN Women dan UN-Habitat mencatat, perempuan cenderung menghindari ruang publik yang tidak terawat, minim aktivitas, dan memiliki stigma negatif, karena berpotensi memunculkan pelecehan berbasis gender.

Selain itu, Peraturan Menteri PUPR Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH Kawasan Perkotaan menekankan bahwa ruang terbuka hijau harus mendukung interaksi sosial dan kegiatan masyarakat secara sehat dan aman.

Dalam konteks Kotamobagu, kondisi taman kota yang hanya “hidup” di siang hari dan berubah fungsi di malam hari menunjukkan lemahnya pengelolaan ruang publik.

Tanpa pendekatan yang menyeluruh, mulai dari penataan, pengawasan, hingga pengisian aktivitas budaya dan kreatif, RTH berpotensi kehilangan fungsi sosialnya dan justru menjadi ruang yang eksklusif serta tidak aman bagi perempuan.

Apa yang disuarakan Ceri dan para pengguna taman lainnya menjadi pengingat bahwa kota yang ramah perempuan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang keberanian pemerintah menghadirkan ruang publik yang aman, aktif, dan bermakna bagi semua warganya.