TENTANGPUAN,com – Seiring denting gong dan tabuhan gendang, Awan Mokoagow menari perlahan. Di tangannya, kain segi empat dengan lonceng kecil bergemerincing mengikuti irama.
Teriakan pembuka yang ia lantunkan menandai dimulainya ritual pengobatan motayok—sebuah praktik penyembuhan tradisional yang menempatkan perempuan sebagai pusat pengetahuan, perawatan, dan otoritas spiritual dalam kebudayaan Mongondow.
Awan adalah bolian, perempuan pemimpin ritual motayok. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, bolian berada dalam kondisi trance saat memimpin ritual, menjadi mediator antara dunia yang wujud dan yang gaib.
“Kalau sudah mulai motayok, bukan saya lagi yang bekerja. Saya hanya jadi perantara,” kata Awan saat ditemui di rumah adat motayok di Bilalang Baru.
Namun di balik dimensi spiritual itu, motayok juga menyimpan makna penting tentang kerja-kerja perawatan (care work) perempuan yang selama ini kerap tak diakui dalam sistem kesehatan formal.
Sejak 1987, Awan menjalani peran sebagai bolian—bukan karena memilih, melainkan karena pengalaman tubuhnya sendiri. Ia pernah sakit berkepanjangan sebelum akhirnya disembuhkan melalui motayok dan kemudian “dipilih” menjadi bolian.
“Dulu saya sakit lama. Sudah ke mana-mana. Setelah disembuhkan lewat motayok, saya justru diminta untuk menjalani ini,” ujarnya.
Pengalaman tersebut memperlihatkan bagaimana pengetahuan perempuan tentang sakit dan sembuh lahir dari relasi intim dengan tubuh, bukan semata dari pendidikan formal medis.
Ritual motayok yang digelar di rumah adat motayok, Desa Bilalang Baru, Kabupaten Bolaang Mongondow, Selasa (2/12/2025) malam, kembali menegaskan posisi tersebut. Musik tradisional berpadu dengan lantunan tenden—syair-syair tua—menciptakan ruang sakral tempat bolian mempraktikkan pengetahuan yang diwariskan lintas generasi perempuan.
Malam itu terasa istimewa karena pasien yang menjalani pengobatan, Norma Pobela, juga seorang bolian. Perempuan asal Desa Tudu Aog Baru itu mengidap sejumlah penyakit, termasuk gondok yang membuatnya sulit makan. Setelah menempuh pengobatan modern, Norma memilih kembali pada motayok, sebuah keputusan yang mencerminkan agensi perempuan dalam menentukan jalan penyembuhan bagi tubuhnya sendiri.
“Sejak diperiksa bolian kurang lebih dua minggu lalu, ada perubahan. Tidak susah lagi untuk makan,” kata Norma. Ia telah menjadi bolian sejak 1993 dan hingga kini masih aktif memimpin ritual motayok di wilayahnya.
Menurutnya, menjadi bolian berarti siap merawat siapa pun tanpa memandang latar belakang. “Yang datang berobat itu macam-macam. Kami hanya membantu sebisanya,” ujarnya.
Dalam perspektif feminis, relasi antara Awan dan Norma menunjukkan bahwa motayok bukan sekadar ritual spiritual, melainkan ruang solidaritas perempuan—tempat pengetahuan, pengalaman sakit, dan praktik perawatan dibagikan serta diwariskan.
Hasil riset Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN menunjukkan bahwa dalam banyak komunitas adat di Indonesia, praktik pengobatan tradisional kerap bertumpu pada kepemimpinan perempuan. Peneliti BRIN, Joko Tri Haryanto, menilai pengobatan tradisional tidak hanya berfungsi sebagai alternatif medis, tetapi juga sebagai sistem pengetahuan lokal yang merekam pengalaman sosial, spiritual, dan tubuh, terutama tubuh perempuan.
“Perempuan dalam praktik pengobatan tradisional sering kali menjadi penjaga pengetahuan dan etika perawatan komunitas,” kata Joko. “Ini bukan sekadar soal ritual, tapi tentang cara masyarakat memahami sakit, sembuh, dan relasi sosial.”
Namun, keberadaan bolian menghadapi tantangan serius. Modernisasi layanan kesehatan dan tafsir keagamaan yang kaku kerap meminggirkan praktik ritual, sekaligus mempersempit ruang perempuan adat sebagai penyembuh. Di Bolaang Mongondow, motayok yang dahulu tersebar di banyak wilayah kini hanya bertahan di Kecamatan Bilalang.
Padahal, secara regulasi, negara mengakui pentingnya praktik budaya semacam ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan secara tegas memasukkan pengetahuan tradisional, ritus, dan praktik adat sebagai objek pemajuan kebudayaan yang harus dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan. Dalam kerangka ini, motayok dan peran bolian seharusnya dipandang sebagai bagian dari kekayaan pengetahuan nasional, bukan praktik yang harus disisihkan.
Minimnya regenerasi dan rendahnya pengetahuan generasi muda tentang motayok membuat pelestarian ritual ini menjadi penting, sekaligus menjadi perjuangan menjaga ruang kepemimpinan perempuan adat.
“Kalau tidak ada yang mau belajar, ini bisa hilang,” kata Awan pelan.
Bagi Awan dan Norma, motayok bukan hanya soal menyembuhkan penyakit, tetapi tentang mempertahankan ingatan kolektif bahwa perempuan pernah—dan masih—memiliki otoritas atas pengetahuan, tubuh, dan kehidupan.
Di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial, motayok kini berdiri di persimpangan: antara ingatan leluhur dan masa depan kebudayaan Mongondow. Bagi para bolian, merawat bukan sekadar menyembuhkan tubuh, tetapi menjaga keberlanjutan hidup komunitas.
Seperti dikatakan filsuf feminis Joan Tronto, “care is both a practice and a moral orientation”—perawatan adalah praktik sekaligus sikap moral. Dalam ritual motayok, perempuan bukan hanya pelaksana tradisi, melainkan penjaga pengetahuan dan kehidupan itu sendiri. Selama bolian masih diberi ruang untuk merawat, menafsir, dan memimpin, warisan penyembuhan perempuan Mongondow akan tetap bernapas di tengah zaman yang terus berubah.
Peliput: Indra Umbola

