Perempuan sebagai Penentu Pola Konsumsi, Kunci Perubahan dalam Upaya Konservasi Satwa Liar

Ketua Sinode GMIBM, Pdt Fekky Kamasaan (kiri ujung), Dr Martina Langi (kiri kedua), Kepala Balai TNBNW, Decky Hendra Prasetya, (kiri ketiga), Pdt Dr R. Renwarin (kanan), (Foto: Neno Karlina).

TENTANGPUAN.com – Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) dan Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Pedoman Khotbah Bertemakan Konservasi Satwa Liar di Hotel Sutan Raja, Kotamobagu, Jumat (28/11/2025).

Diskusi ini tidak hanya menyoroti aspek teologis dan ekologis, tetapi juga menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam perubahan pola konsumsi dan cara pandang masyarakat terhadap satwa liar.

Kepala Balai TNBNW, Decky Hendra Prasetya, menjelaskan beragam peran penting satwa liar bagi ekosistem, mulai dari penyeimbang rantai makanan hingga penyebar benih. “Mengapa satwa liar penting dilindungi, karena banyak faktor di antaranya adalah penyeimbang rantai makanan, membantu penyerbukan tanaman, predator hama, penyebar benih beberapa jenis tumbuhan, bahan penelitian, pendidikan dan wisata, serta sumber inspirasi,” katanya.

Decky menekankan bahwa keberlanjutan ekosistem tidak dapat dipisahkan dari perilaku manusia sehari-hari, termasuk pola makan dan pilihan konsumsi keluarga. Ia mengingatkan, “Masyarakat sejahtera baru hutan lestari. Selama ini ada anggapan manusia yang merawat alam, tapi sebenarnya alamlah yang merawat kita.”

Dalam banyak keluarga, keputusan konsumsi sangat ditentukan oleh perempuan yang mengelola dapur. Ketika perempuan memilih, menolak, atau mengubah bahan makanan, secara langsung rantai permintaan terhadap satwa liar dapat terputus. Hal ini membuat peran perempuan menjadi sangat strategis dalam upaya konservasi yang berbasis perubahan budaya.

Ketua Sinode GMIBM, Pdt Fekky Kamasaan, menegaskan bahwa gereja memandang relasi manusia dan alam sebagai bagian dari tanggung jawab ekologis. “Relasi antara manusia tidak direduksi imanologis tetapi dia ada tanggung jawab ekologis,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa GMIBM telah memperkuat perspektif ekoteologi melalui kebiasaan mengurangi plastik sekali pakai dan memperluas edukasi lingkungan lewat pelayanan gereja.

Menurut Pdt Fekky, perubahan pola konsumsi masyarakat — termasuk keputusan rumah tangga tentang makanan — sangat dipengaruhi pola pikir yang dibentuk sejak kecil dan dipertahankan oleh perempuan. “Orang Mongondow sangat selektif memilih makanan. Saya sendiri sampai sekarang enggan mengonsumsi ular, tidak memakan kodok, sebab sejak kecil sudah terbiasa dengan hal demikian. Jadi sebenarnya interaksi sosial itu juga mendukung bagaimana pola pikir ini, sehingga penting sekali aspek edukasi bahwa ada yang bisa dikonsumsi tapi ada yang harus dilestarikan,” tuturnya.

Ia juga menyinggung konsep theologia ibu, yang memandang alam seperti seorang ibu yang memberi kehidupan. Perspektif ini sejalan dengan kenyataan bahwa perempuan melalui peran domestiknya menjaga keberlanjutan lewat pilihan sehari-hari, termasuk memilih pangan yang tidak merusak alam.

Dari bidang akademik, Dr Martina Langi dari Fakultas Pertanian Unsrat–Ilmu Kehutanan menilai bahwa perubahan perilaku konsumsi berbasis edukasi merupakan langkah penting yang dapat didorong melalui gereja. “Sebetulnya tidak ada yang mubazir, prosedurnya yang baik, soal apa yang perlu dilakukan. Semuanya lebih ke manajemen. Sebenarnya lebih ke cara bagaimana semua ini bisa terus berlanjut agar bisa menggambarkan karakter Ilahi,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa gereja dapat menjadi ruang belajar bersama agar jemaat—termasuk perempuan—memahami alasan ekologis dan kesehatan di balik larangan konsumsi satwa liar. “Tidak masalah kalau kita makan ayam karena ayam dibudidayakan. Tapi kalau kita makan ayam liar kita berisiko, sebab risikonya selain alasan ekologis, tetapi ke kita belum tentu juga cocok, bahaya atau tidak, ada virus atau tidak, sehingga butuh penelitian. Jika suka makan kelelawar, maka budidayakan kelelawar. Meski tidak semua harus dibudidayakan karena ada fungsi ekologis di sana. Semua sesuai peruntukan, jadi kuncinya ada manajemen,” ujarnya.

Penguatan peran perempuan juga kembali ditekankan oleh Pdt Dr R. Renwarin dari Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng. Ia mengkritisi anggapan yang menyederhanakan konsep imago dei sebagai legitimasi eksploitasi alam. “Imago dei seakan-akan jelas. Namun sebelum manusia diciptakan, alam semesta sudah terlebih dahulu ada, sehingga seharusnya bukan karena kita manusia kemudian kita berhak melakukan perusakan,” ungkapnya.

Dr Renwarin menilai bahwa perempuan memiliki pengaruh terbesar dalam membentuk pola konsumsi keluarga, sehingga mereka memiliki andil besar dalam menjaga kelestarian alam.

“Pola pikir sangat mempengaruhi dan penting sekali bagi ibu-ibu karena mereka yang banyak berperan di dapur,” katanya.

Ia bahkan mencontohkan langkah konkret yang dapat dilakukan gereja untuk menguatkan peran perempuan dalam konservasi: “Yang punya kuasa untuk konservasi makanan adalah ibu-ibu di dapur. Siapa yang bisa mempengaruhi rasa. Gereja bisa mengatur pesta, perayaan syukur, atau perjamuan, bisa bilang harus makan tinutuan. Sehingga ini cuma bagaimana makanan ini dimuliakan. Makanan-makanan lokal yang selama ini dianggap tidak bergengsi adalah salah satu strategi praktis yang mungkin bisa diimplementasikan.”

Melalui diskusi ini, semakin jelas bahwa pelestarian satwa liar bukan hanya urusan kawasan konservasi atau lembaga pemerintah, tetapi juga keputusan kecil yang diambil setiap hari di dapur keluarga. Dan di ruang itu, perempuan memegang peran paling menentukan dalam mengarahkan budaya makan yang lebih ekologis, sehat, dan berkelanjutan.