TENTANGPUAN.com – Setiap tanggal 12 November, Indonesia memperingati Hari Ayah Nasional sebagai momentum untuk menghargai peran bapak dalam keluarga dan masyarakat.
Peringatan ini bukan sekadar seremoni; ia menyimpan tantangan nyata, termasuk bagi perempuan yang tumbuh mengalami hubungan bermasalah dengan figur ayah.
Bagi banyak perempuan, absennya ayah, baik secara fisik maupun emosional, menjadi titik awal serangkaian kerentanan. Studi internasional menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah berkorelasi dengan risiko depresi di masa remaja dan dewasa awal.
Pentingnya Kehadiran Ayah
Dalam konteks Indonesia yang masih dipengaruhi norma patriarkal, anak perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan dengan ayah yang kurang terlibat atau bahkan kasar, menghadapi tantangan dalam membangun kepercayaan diri, hubungan interpersonal yang sehat, dan kemandirian.
Salah satu akar permasalahan adalah keterikatan emosional (attachment) yang terganggu. Ketika ayah tidak hadir atau hanya hadir secara fisik saja, tanpa keterlibatan aktif, anak perempuan sering mengalami kesulitan dalam merasa “dilihat” dan “didengar”.
Ini kemudian menimbulkan rasa rendah diri, rasa takut akan keintiman, atau kecenderungan memilih pola relasi yang mereplikasi dinamika kekuasaan.
Selain faktor emosional, aspek ekonomi turut memperparah kerentanan. Ayah sebagai pencari nafkah utama yang kemudian mengabaikan keluarga atau meninggalkan tanggung jawab, berpotensi mendorong situasi ekonomi keluarga menjadi rentan.
Perempuan yang tumbuh dalam kondisi demikian sering kali harus mengambil tanggung jawab lebih awal, merangkap peran anak dan “pengganti” figur ayah, dengan konsekuensi psikososial serius.
Norma sosial dan stigma juga menjadi praktik penguat. Dalam banyak komunitas, perempuan enggan mencari bantuan psikologis atau mengungkap konflik keluarga, karena budaya “menjaga muka” atau tradisi yang menempatkan urusan keluarga sebagai taboo-area. Keheningan ini menjadikan dampak negatif hubungan ayah-anak sulit terdeteksi dan ditangani secara sistemik.
Riset, Regulasi, dan Agenda ke Depan
Hasil riset dari lembaga internasional mengungkap bahwa absennya ayah dalam pengasuhan bukan hanya berdampak jangka pendek, tetapi berkaitan dengan kesejahteraan mental anak hingga dewasa awal.
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah aktif memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi di usia 18–25 tahun.
Studi lokal juga menegaskan bahwa perempuan muda yang berasal dari keluarga dengan ayah kurang terlibat menghadapi tantangan dalam membangun hubungan sehat dan kemandirian ekonomi.
Dari sisi kebijakan, Indonesia telah memiliki payung hukum yang relevan: Undang‑Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (amandemen atas UU No. 23 Tahun 2002) menegaskan hak anak atas perlindungan dari kekerasan, pengabaian, dan eksploitasi, serta kewajiban keluarga dan negara untuk memastikan pemenuhan hak tersebut. Meskipun demikian, implementasi di lapangan masih menemui kendala, terutama dalam hal akses layanan kesehatan mental, dukungan psikososial, dan upaya pemberdayaan perempuan yang terdampak.
Menghadapi kondisi ini, beberapa langkah merupakan rekomendasi penting, memanfaatkan momentum Hari Ayah Nasional untuk kampanye pengasuhan positif dan keterlibatan ayah; memperluas jangkauan layanan konseling dan dukungan psikososial khusus anak-perempuan; memasukkan materi literasi emosional serta kesehatan relasi ke dalam kurikulum pendidikan dan program komunitas; serta memberdayakan perempuan yang terdampak dengan pelatihan kemandirian ekonomi dan jaringan sosial.
Dengan demikian, peringatan Hari Ayah Nasional bukan hanya soal apresiasi simbolis kepada figur bapak, tapi juga tentang mendorong komitmen nyata terhadap pengasuhan inklusif, relasi sehat dalam keluarga, dan pemberdayaan anak perempuan untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman serta mendukung.

