Sejarah Perkembangan Sepak Bola Perempuan dan Semangat Kesetaraan di Kotamobagu

/
Pemain sepak bola perempuan saat berlaga di Wali Kota Cup Putri 2025 di Kotamobagu, (Foto: Pool).

TENTANGPUAN.com – Perjalanan panjang sepak bola perempuan di dunia kini menemukan gaungnya hingga ke daerah-daerah, termasuk di Kota Kotamobagu.

Jika secara global sepak bola perempuan telah berkembang sejak akhir abad ke-19, dimulai dari pertandingan bersejarah di Inggris pada tahun 1895, hingga akhirnya melahirkan kompetisi internasional seperti Piala Dunia Perempuan FIFA pada 1991, maka di Kotamobagu, semangat yang sama kini hidup melalui penyelenggaraan Turnamen Sepak Bola Wali Kota Cup Putri 2025.

Turnamen yang digelar di Lapangan Olahraga Kelurahan Motoboi Besar, Kecamatan Kotamobagu Timur, pada Sabtu (1/11/2025) itu menjadi bukti nyata bahwa olahraga perempuan semakin diakui dan diberi ruang untuk berkembang. Wali Kota Kotamobagu, Weny Gaib, secara resmi membuka kegiatan ini dengan penuh apresiasi terhadap kerja keras panitia dan masyarakat yang telah mewujudkan turnamen tersebut.

“Saya merasa bersyukur dan berterima kasih kepada panitia pelaksana yang telah melaksanakan Turnamen Sepak Bola Wali Kota Cup Putri Tahun 2025. Kami sangat mengapresiasi usaha dari Pemerintah Kelurahan, Panitia pelaksana, dan seluruh Masyarakat Kelurahan Motoboi Besar, yang telah bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan ini,” ucap Wali Kota.

Lebih dari sekadar kompetisi, kegiatan ini mencerminkan semangat kebersamaan dan kesetaraan yang menjadi fondasi penting dalam pengembangan olahraga perempuan.

Dalam konteks sejarah global, sepak bola perempuan pernah mengalami masa-masa sulit, termasuk pelarangan di Inggris antara tahun 1921 hingga 1971 dan di Brasil hingga tahun 1979.

Kini, dengan adanya ruang dan dukungan di tingkat lokal seperti di Kotamobagu, perkembangan sepak bola putri tidak hanya menjadi simbol kemajuan olahraga, tetapi juga kemajuan cara pandang masyarakat terhadap peran perempuan di ruang publik.

Wali Kota Weny menegaskan bahwa turnamen ini merupakan bukti kekompakan dan kebersamaan masyarakat Motoboi Besar.

“Kegiatan seperti ini juga menjadi sangat penting, karena kita semua dapat mengukur tentang sejauh mana kemampuan para atlet olahraga sepak bola yang ada di daerah ini, yang diharapkan akan dapat berprestasi dan membawa harum nama daerah, bahkan hingga di tingkat nasional,” ujarnya.

Lebih lanjut, Weny juga mengingatkan pentingnya nilai sportivitas dan etika bermain.

“Saya juga menghimbau kepada seluruh peserta Turnamen Sepak Bola Wali Kota Cup Putri Tahun 2025, untuk menjunjung tinggi sportivitas dalam setiap pertandingan. Kalah dan menang adalah hal yang biasa dalam sebuah pertandingan, tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita menampilkan permainan sepak bola yang baik,” pungkasnya.

Kehadiran tokoh-tokoh penting seperti Ketua TP PKK Kota Kotamobagu, Rindah Gaib Mokoginta, Wakil Ketua TP PKK Resty A. Mangkat Somba, Sekretaris Daerah Sofyan Mokoginta, serta perwakilan Forkopimda dan masyarakat Motoboi Besar menunjukkan dukungan luas terhadap penguatan olahraga perempuan di daerah.

Dalam konteks pembangunan daerah yang berperspektif gender, kegiatan seperti Wali Kota Cup Putri tidak hanya menjadi ajang kompetisi olahraga, tetapi juga ruang afirmatif bagi perempuan untuk tampil, berprestasi, dan menginspirasi.

Seperti halnya sejarah panjang sepak bola perempuan di dunia yang penuh perjuangan dan ketekunan, kehadiran turnamen ini di Kotamobagu menjadi bagian dari babak baru dalam perjalanan panjang menuju kesetaraan dan pengakuan terhadap kemampuan perempuan di segala bidang, termasuk di lapangan hijau.

Wali Kota Kotamobagu, Weny Gaib saat membuka turnamen Wali Kota Cup Putri 2025 di Kotamobagu, (Foto: Pool).

Sejarah dan Perkembangan Sepak Bola Perempuan

Sepak bola perempuan memiliki perjalanan panjang yang tak terlepas dari perjuangan melawan stereotip dan ketimpangan gender. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pertandingan sepak bola perempuan pertama yang terdokumentasi berlangsung di Inggris pada 23 Maret 1895, mempertemukan tim “North” dan “South” di Crouch End Athletic Ground, London. Pertandingan ini menjadi tonggak penting lahirnya sepak bola perempuan di ranah publik.

Namun, perjalanan tersebut tidak selalu mulus. Pada tahun 1921, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) justru melarang perempuan bermain sepak bola di stadion-stadion yang berada di bawah naungannya.

Alasannya kala itu, permainan dianggap “tidak pantas” bagi perempuan. Larangan ini baru dicabut setengah abad kemudian, yakni pada tahun 1971. Kasus serupa juga terjadi di berbagai negara, seperti Brasil, di mana perempuan dilarang bermain sepak bola hingga tahun 1979.

Meski demikian, semangat perempuan untuk tetap bermain tidak pernah padam. Tim-tim legendaris seperti Dick, Kerr Ladies di Inggris terus bermain dalam pertandingan amal dan tur internasional, bahkan saat olahraga ini belum diakui secara resmi.

Kebangkitan sepak bola perempuan mulai terlihat pada dekade 1970-an, saat semakin banyak negara mulai memberikan ruang bagi perempuan untuk berkompetisi.

Pada tahun 1991, FIFA untuk pertama kalinya menyelenggarakan Piala Dunia Sepak Bola Perempuan di Tiongkok. Turnamen tersebut dimenangkan oleh Amerika Serikat dan menandai awal era baru bagi sepak bola perempuan di dunia.

Sejak saat itu, liga dan kompetisi profesional bermunculan di berbagai negara. Di Amerika Serikat, misalnya, berdiri National Women’s Soccer League (NWSL) pada 2012 yang kini menjadi liga perempuan paling kompetitif di dunia.

Namun, hingga kini, perjuangan untuk kesetaraan masih berlangsung. Perbedaan dalam pendanaan, fasilitas, dan perhatian publik antara sepak bola pria dan perempuan masih menjadi tantangan. Meski begitu, keberhasilan penyelenggaraan turnamen seperti Wali Kota Cup Putri 2025 di Kotamobagu menjadi bagian penting dari gerakan global menuju pengakuan dan keadilan gender dalam dunia olahraga.