Catatan Perempuan Penjaga Telur Maleo di Bolaang Mongondow Selatan

//
Maria, sosok penulis jumlah telur maleo di Binerean, (Foto: Tangkapan layar vedio ZU).

TENTANGPUAN.com – PERLAHAN, seorang perempuan mengambil buku catatan lusuh dari rak kayu kecil di ruang tengah rumahnya. Jemarinya menelusuri halaman demi halaman yang mulai menguning.

Di sana, tercatat angka-angka, tanggal, dan catatan ringkas tentang telur burung maleo; jumlah, ancamannya, dan peristiwa kecil di sekitarnya.

Cerita di Balik Catatan

Perempuan itu bernama Maria, istri dari Hanafi, penjaga maleo yang sudah 18 tahun bekerja untuk melindungi satwa endemik Sulawesi ini.

Di rumah sederhana di Desa Mataindo, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Maria menjadi saksi bagaimana upaya menjaga satu spesies burung berarti juga menjaga keseimbangan seluruh ekosistem pantai yang menjadi bagian dari kawasan Wallacea. Wilayah biogeografis unik yang membentang di antara Asia dan Australia.

Maria tak bekerja di lapangan, tak mencari dan menggali telur maleo seperti suaminya. Tapi perannya tak kalah penting. Ia mencatat, mengarsip, dan merawat jejak-jejak konservasi melalui tulisan tangan yang sabar.

“Apapun yang terjadi itu dicatat istri saya, kemudian kami kirim lewat WA,” ujar Hanafi sambil tersenyum

Sudah 17 tahun Maria menulis tanpa henti. Setiap kali Hanafi pulang dari lokasi nesting ground, Maria menunggu kabar sambil menyiapkan buku catatan manual.

Ia menulis berapa telur yang ditemukan, apakah ada gangguan, binatang pemangsa, atau perahu nelayan yang lewat. Semua tercatat dengan waktu dan tanggal yang presisi.

“Tidak pernah tercecer, semua buku itu selama 17 tahun itu ada dicatat manual,” kata Hanafi.

Buku-buku itu kini menumpuk di lemari mereka, menjadi arsip hidup perjalanan konservasi maleo di Binerean. Dalam tiap lembar, ada bukti bagaimana keluarga ini menjaga kepercayaan antara manusia dan alam.

Maleo ( Macrocephalon maleo ) adalah megapoda besar dan satu-satunya anggota genus monotipe Macrocephalon . Maleo endemik di Sulawesi. (Foto: Ronny A. Buol).

Maleo, Burung Suci dari Tanah Wallacea

Burung maleo (Macrocephalon maleo) adalah salah satu satwa endemik paling istimewa di Sulawesi. Ciri khasnya unik: kepala besar, wajah kemerahan, dan kebiasaan bertelur di pasir panas atau tanah vulkanik yang memanfaatkan panas bumi untuk menetaskan telur.

Maleo tidak pernah mengerami telurnya sendiri, sebuah paradoks alam yang menjadikan mereka sangat bergantung pada kondisi habitat.

Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, terutama di pesisir Binerean dan sekitarnya, maleo masih bertahan, meski jumlahnya jauh berkurang dibanding tahun-tahun 1980-an.

Dulu, kata Hanafi, burung itu bisa terlihat dalam ribuan jumlah. Kini, hanya tersisa ratusan, bahkan puluhan di beberapa titik.

Penyebabnya beragam: alih fungsi hutan menjadi kebun kelapa, penebangan pohon di sekitar pantai, perburuan telur, hingga gangguan manusia seperti lalu lintas perahu dan anjing liar. Di sinilah Maria dan Hanafi mengambil peran mereka.

Pesisir Binerean, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, (Foto: Ronny A.Buol)

Hanafi dulu adalah pemburu telur. Ia mulai menggali telur maleo sejak usia sembilan tahun.

“Dalam sehari mereka bisa sampai mendapat 30 butir telur,” ujarnya mengenang masa kecilnya. Telur-telur itu dikonsumsi atau dijual untuk kebutuhan hidup.

Namun pada 2007, hidupnya berubah. Setelah keponakannya yang lebih dulu bergabung dengan Wildlife Conservation Society (WCS) meninggal dunia, organisasi itu mencari pengganti. Hanafi diminta menggantikan.

“Pak Iwan (WCS) akhirnya menemui saya. Masih honor belum kontrak, dari 2007. Saya bahkan masih sempat tinggal di tempat pengasapan kelapa selama 6 bulan,” kenangnya.

Sejak saat itu, Hanafi resmi menjadi penjaga maleo. Ia berangkat setiap pagi pukul lima, berjalan kaki atau naik perahu selama satu jam menuju lokasi peneluran. Kadang harus melewati ombak tinggi atau hujan deras.

“Harus berangkat, sebab telur jangan sampai terendam air. Bahkan pernah ketika dilanda banjir, saya tetap berangkat menggunakan bambu yang diikat dengan tali,” katanya.

Maria selalu menunggu kabar suaminya. Ia tahu setiap hari ada risiko: buaya, ular, badai, atau pemburu. Namun tak pernah ia melarang. Ia justru menulis semua laporan itu satu per satu di buku catatan.

“Dari data harian itu kemudian bisa dirangkum, diketahui berapa sebenarnya jumlah telur dalam setahun, berapa ratus butir. Misalnya dalam setahun ada 100 butir telur, kan bisa diketahui, berarti ada berapa pasang burung maleo,” jelas Hanafi.

Dalam pekerjaannya yang sunyi, Maria sesungguhnya menjadi penghubung antara dunia konservasi dan rumah tangga. Ketelitian dan kesetiaannya menjaga catatan menjadi dasar bagi keberlanjutan upaya pelestarian maleo di Bolsel.

Maria istri Hanafi yang ikut serta dalam konservasi maleo, sudah 17 tahun mencatat jumlah telur yang didapat di Binerean, (Foto: Tangkapan layar vedio ZU).

Dari Rumah ke Habitat: Kerja Kecil yang Berdampak Besar

Maria tak pernah menyangka kehidupannya akan begitu dekat dengan dunia konservasi. Saat menikah dengan Hanafi pada 2008, suaminya sudah bekerja sebagai penjaga maleo. Alih-alih memprotes waktu Hanafi yang banyak dihabiskan di lapangan, Maria memilih ikut terlibat.

Ia tahu pekerjaan itu bukan soal uang semata. “Kalau suatu saat WCS berhenti, saya dan anak-anak akan tetap menjaga maleo. Itu sudah jadi bagian hidup kami,” aku Hanafi.

Bagi Maria, menjadi pendamping bukan berarti pasif. Ia belajar memahami perilaku maleo dari cerita suaminya: kapan burung itu turun ke pantai, bagaimana mereka memilih lokasi bertelur, dan apa saja tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai.

Ketika musim penyu tiba, maleo dan penyu biasanya bertelur di lokasi yang sama. Pagi-pagi sekali, Hanafi akan merilis telur penyu terlebih dahulu, baru kemudian telur maleo. “Pagi jam 5 sudah bangun dan setengah 6 sudah jalan. Kalau musim ombak jalan kaki,” kata Hanafi.

Maria mencatat semuanya, termasuk jumlah tukik penyu yang menetas. “Untuk penyu, saya catat juga jumlah telur, telur yang busuk, tukik, ketebalan sarang, panjang badan,” jelasnya.

Buku-buku catatannya kini menjadi dokumen berharga. Saat staf WCS datang atau peneliti berkunjung, mereka selalu kagum melihat data-data yang begitu lengkap dan rapi.

“Tidak pernah tercecer, semua buku itu selama 17 tahun itu ada dicatat manual,” ulang Hanafi dengan bangga.

Bagi Maria, pekerjaan ini bukan hanya untuk WCS atau pemerintah, tapi untuk masa depan anak-anaknya. Ia pernah berpesan kepada mereka bahwa jika suatu saat ia dan suaminya tiada, maka anak-anaklah yang harus meneruskan menjaga maleo.

“Senang bisa melihat prosesnya, dari telur yang dikumpulkan, lalu menetas dan kemudian dikembalikan ke alam, itu adalah perasaan yang luar biasa,” kata Maria.

Bagi Maria dan Hanafi, menjaga Maleo bukan hanya tentang burung itu. Tapi tentang kehidupan yang saling terkait.

“Kalau tempat bertelur rusak, tapi hutan juga rusak, sama saja. Semua saling nyambung,” katanya, mengutip penjelasan yang sering ia dengar dari tim WCS.

Protected Area Specialist WCS-IP Sulawesi, Herman Teguh, menguatkan pandangan itu. “Ada tiga komponen penting kalau mau selamatkan Maleo: tempat bertelur, habitat, dan koridor. Kalau salah satunya rusak, populasi tetap terancam,” ujarnya.

Maria (kanan) bersama Hanafi (kiri) saat memperlihatkan buku catatannya, (Foto: Ronny A.Buol).

Perempuan dalam Konservasi: Data, Empati, dan Harapan

Peran Maria menegaskan satu hal penting dalam konservasi: perempuan bukan sekadar pendukung, tetapi aktor utama dalam keberlanjutan ekosistem.

Riset yang diterbitkan oleh Springer Nature (2023) menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia memiliki tingkat kepedulian dan sikap positif terhadap pelestarian satwa liar yang lebih tinggi dibanding laki-laki, terutama dalam program berbasis komunitas.

“Kuncinya adalah harus menempatkan masyarakat, termasuk kaum perempuan dalam posisi kemudi,” jelas Executive Director Yayasan Alam Nusantara, Herlina Hartanto. Sebagaimana yang dilansir dari Tempo.co dalam artikel yang bertajuk Peran Besar Perempuan Dalam Konservasi Alam yang Perlu Disadari, tayang 22 Desember 2022.

Maria bercerita awal mula ia turut terlibat dalam konservasi maleo, (Foto: Ronny A.buol).

Pendekatan perempuan yang empatik dan kolaboratif terbukti memperkuat keberhasilan proyek konservasi karena mereka cenderung lebih teliti dalam pencatatan, dan lebih mampu membangun kepercayaan sosial di tingkat lokal.

Maria adalah contoh nyata dari temuan itu. Ia tak memimpin patroli, tapi menciptakan sistem dokumentasi yang membuat konservasi berkelanjutan. Ia juga menjadi jembatan komunikasi antara Hanafi dan komunitas sekitar.

Ketika ada pemburu yang mendekat, Hanafi biasanya menegur dengan halus, menggunakan bahasa sederhana.

“Sempat bersitegang tahun 2008 dengan pemburu dari Dumoga, tapi akhirnya mereka mengerti,” cerita Hanafi.

Dalam konteks jurnalisme konstruktif, kisah Maria dan Hanafi memperlihatkan model kolaborasi ekologis yang bekerja: mengubah pemburu menjadi pelindung, dan mengubah keluarga menjadi penjaga habitat. Mereka membangun kepercayaan sosial tanpa konflik besar, melainkan melalui pendekatan sabar dan dialog antarwarga.

Maria juga memberi contoh bahwa perempuan memiliki ruang yang penting dalam dokumentasi sains warga (citizen science). Data yang ia kumpulkan sejak 2007 hingga kini menjadi bukti ilmiah perubahan populasi maleo dan penyu di kawasan itu, catatan yang tak ternilai dalam penelitian jangka panjang.

Hanafi memperlihatkan telur maleo usai ia gali, (Foto: Ronny A. Buol).

Dari Binerean untuk Wallacea: Refleksi dan Harapan

Kawasan Wallacea , tempat Binerean berada, adalah wilayah yang sangat unik. Ia menjadi jembatan antara benua Asia dan Australia, menyimpan kekayaan hayati luar biasa yang tak ditemukan di tempat lain. Maleo adalah simbol Wallacea: burung yang hanya ada di Sulawesi dan hidup di antara laut, gunung, dan hutan tropis yang terus menyusut.

Melindungi maleo berarti melindungi Wallacea, melindungi identitas ekologis Indonesia bagian timur. Dan di ujung garis pantai itu, seorang perempuan bernama Maria telah mengambil peran yang mungkin tampak kecil, tapi sesungguhnya mendalam.

Ia tidak bicara tentang kebijakan atau undang-undang konservasi, tapi tentang tindakan sederhana mulai dari mencatat setiap telur, setiap ancaman, setiap perubahan. Dan dari catatan-catatan itulah, kisah konservasi terus hidup.

Kini, buku catatan Maria bukan sekadar arsip keluarga. Ia adalah bagian dari sejarah kecil Wallacea, tempat di mana manusia dan satwa bisa hidup berdampingan tanpa saling mengancam.

Ketika ditanya apakah ia pernah bosan, Hanafi hanya tersenyum. “Itu sudah berbulan-bulan tinggal di tempat pengasapan kelapa, saya sempat sampaikan itu ke pak Iwan,” katanya mengenang masa awal. Tapi kini, kebosanan itu tak pernah kembali.

Setiap kali melihat anak maleo yang baru menetas dan terbang untuk pertama kalinya, perasaan haru selalu datang. “Terharu, ada perasaan senang ketika melihat mereka terbang di alam bebas untuk pertama kalinya,” ucapnya.

Maria menatap suaminya dengan bangga. Ia tahu perjuangan mereka belum selesai. Tapi selama masih ada pasir, laut, dan cahaya pagi di Binerean, ia akan terus menulis. Mencatat hidup, satu telur maleo dalam satu waktu.

“Kalau suatu saat WCS berhenti, saya dan anak-anak akan tetap menjaga maleo. Itu sudah jadi bagian hidup kami,” kata Hanafi.

Dari rumah kecil di Binerean, Maria menjaga Wallacea, tidak dengan senjata atau spanduk kampanye, tapi dengan pena, kesabaran, dan cinta pada kehidupan.

Dan mungkin, di situlah sejatinya kekuatan konservasi berada: bukan di tangan yang menggenggam kuasa, tapi di tangan yang terus menulis agar kehidupan tetap diingat.

Apa yang dilakukan Maria dan Hanafi sesungguhnya membuka ruang refleksi: seberapa jauh kita ikut menjaga kehidupan di sekitar kita? Konservasi bukan hanya tugas lembaga atau pemerintah, melainkan panggilan bagi siapa pun yang mencintai alam. Dukungan sekecil apa pun, bahkan dari jarak jauh, adalah bentuk cinta pada keberlanjutan.


Tulisan ini merupakan bagian dari upaya mendiseminasikan model-model sukses yang kompleks namun penuh harapan dari gerakan kolaborasi media #jurnalisjagawallacea.