TENTANGPUAN.com – Hasil uji sederhana kualitas air yang dilakukan Zonautara.com bersama pemerhati lingkungan, Jemmy Makasala di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo kembali memunculkan tanda bahaya bagi warga.
Dari dua sampel yang diambil, yaitu air limbah dan air bor, hasilnya menunjukkan bahwa bukan hanya air limbah yang tercemar, tetapi juga air bor yang selama ini digunakan masyarakat untuk minum, mandi, dan mencuci.
“Air yang biasa saya siram jadi pupuk bunga, di sini jadi air yang digunakan masyarakat sehari-hari selama berpuluh-puluh tahun. Tentu saja ancaman zat kimia beracun merongrong mereka. Sakit paru-paru, ginjal dan lainnya,” jelas Jemmy, Kamis, (25/9/2024).
Sampel diambil di dekat sebuah pabrik kecap. Meski ada dugaan pencemaran berasal dari limbah industri, hal itu dibantah warga yang tinggal tepat di sisi aliran air.
“Air ini langsung dari Kilo 5. Pabrik kecap sudah punya pengelolaan limbah air sendiri dan tidak dibuang di saluran air,” kata Mintux, salah satu warga Sumompo.

Perempuan di Garis Depan Perlawanan
Temuan ini menambah daftar panjang persoalan lingkungan yang dihadapi warga lingkar TPA Sumompo.
Sebelumnya, sudah sejak tahun lalu, kelompok mama-mama di kawasan ini telah mengorganisir diri menolak rencana pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) di lokasi yang sama.
Mereka akhirnya melakukan aksi demonstrasi pada Senin, (23/9/2025) dan masih berlangsung hingga hari ini (Rabu-red). Mereka menutup portal TPA, berdiri di barisan depan, dan menghentikan aktivitas truk sampah.
“Kami mama-mama yang 1×24 jam berada di rumah. Kami yang memastikan kesehatan anak-anak dan keluarga, sebab jika ada anggota keluarga sakit, yang paling siksa adalah kami mama-mama. Kami tidak bisa tidur tenang, sehingga kami yang musti berjuang karena dampak TPA dan bahkan dampak IPLT itu nantinya kami yang paling merasakan,” tegas Yasri Badoa, koordinator aksi.
Ia menambahkan, ancaman penyakit bukan lagi sebatas teori.
“Ancaman kanker serviks, kanker payudara, itu kepada kami mama-mama dan perempuan, bukan bapak-bapak,” lanjutnya.

Dalam aksi yang masih terus berlangsung tersebut, banyak perempuan rela meninggalkan pekerjaan domestik mereka. Ada yang tidak sempat memasak, mencuci, atau bahkan harus membatalkan pesanan katering demi ikut memperjuangkan masa depan anak cucu.
“Kami bukan ditunggangi siapa-siapa. Kami bergerak karena hati nurani, karena kami tahu siapa yang paling merasakan dampaknya nanti. Kalau anak-anak kami sakit, siapa yang akan jaga mereka kalau bukan kami mama-mama,” ungkap Novita Sikome, salah satu penanggung jawab aksi.
Sementara itu, merespon aksi ini Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Manado, Pontowuisang Kakauhe, seperti yang diunggah akun Instagram @Pemerintahkotamanado mengucapkan permohonan maaf kepada masyarakat Kota Manado, karena belum bisa mengambil dan menjemput sampah di rumah-rumah warga sebagaimana mestinya.
“Hal ini disebabkan karena, akses masuk-keluar lokasi TPA Sumompo sampai dengan saat ini, ditutup oleh sekelompok oknum. Perlu kami sampaikan, bahwa selama tiga hari sampai hari ini, kami dari pemerintah kota telah berupaya untuk melakukan pendekatan secara persuasif kepada kelompok oknum tersebut. Tapi hingga saat ini, lokasi menuju lokasi TPA masih ditutup oleh mereka.
Lebih lanjut ia berharap agar masalah ini segera teratasi.
Mengapa Perempuan dan Anak Paling Rentan
Berbagai penelitian internasional menegaskan bahwa pencemaran air dan krisis akses air bersih selalu lebih dulu menghantam perempuan dan anak.
UNICEF dan WHO (2021) mencatat, perempuan dan anak perempuan di Asia menghabiskan sekitar 200 juta jam setiap hari hanya untuk mengambil air. Jika sumber air bersih tercemar, beban mereka semakin berat, ditambah risiko kesehatan yang lebih besar.
UN Women (2022) menegaskan bahwa sanitasi yang buruk berdampak langsung pada kesehatan reproduksi perempuan serta tumbuh kembang anak.
Anak-anak yang terpapar air tercemar rentan terkena diare, penyakit kulit, dan malnutrisi yang bisa berujung pada stunting.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa air bersih bukan hanya persoalan teknis infrastruktur, melainkan menyangkut keadilan sosial.
Perempuan dan anak bukan saja korban paling awal dari pencemaran lingkungan, tetapi juga telah membuktikan diri sebagai aktor utama dalam menjaga hak hidup sehat generasi selanjutnya.