TENTANGPUAN.com – Kenaikan harga beras di Sulawesi Utara sejak awal 2025 tak sekadar soal pasar dan cuaca. Di balik angka statistik dan jargon “lumbung pangan”, ada cerita nyata tentang perempuan dan anak-anak yang harus menghadapi konsekuensi langsung dari krisis ini. Mereka tidak hanya kehilangan daya beli, tapi juga ketahanan hidup sehari-hari.
Di rumah-rumah sederhana di Minahasa, Bolmong, hingga Kepulauan Sangihe, perempuansebagai pengelola utama pangan keluarga, menjadi pihak pertama yang terpukul. Harga beras jenis medium yang biasanya Rp11.000–12.000 per kilogram kini melonjak hingga Rp17.000. Perempuan seperti Maria, ibu tiga anak di Kotamobagu, harus mengurangi pembelian beras dan memperbanyak singkong sebagai pengganti.
Pilihan itu bukan tanpa risiko. Pergeseran konsumsi dari nasi ke karbohidrat lain sering kali berarti kompromi pada asupan gizi. Anak-anak yang terbiasa makan tiga kali sehari, kini hanya mendapatkan dua kali makan, atau makan dengan porsi kecil. Kebutuhan nutrisi penting untuk tumbuh kembang mereka dikorbankan demi bertahan.
Bagi perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi, situasi lebih kompleks. Buruh tani, pedagang asongan, dan ibu rumah tangga yang bekerja paruh waktu kini harus menambah jam kerja atau meminjam uang agar dapur tetap ngebul. Tekanan fisik dan mental meningkat, karena mereka menanggung beban ganda, mengurus rumah tangga sambil mencari nafkah.

Krisis ini juga memperbesar ancaman stunting. Sulawesi Utara memang mencatat penurunan angka stunting dalam beberapa tahun terakhir, namun kondisi ini dapat berbalik drastis. Ketika harga beras tinggi dan daya beli menurun, asupan protein dan zat gizi mikro bagi anak-anak menjadi tak terjangkau. Hal ini berpotensi menghambat pencapaian target penurunan stunting nasional.
Menurut data UNICEF dan BPS 2023, hampir 1 dari 4 anak Indonesia mengalami stunting. Salah satu penyebab utama adalah ketidakcukupan gizi karena keterbatasan pangan. Jika harga beras terus melonjak tanpa intervensi yang berpihak, maka upaya menurunkan stunting di Sulut bisa mengalami kemunduran.
Dampak sosial lain dari krisis beras adalah potensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga. Tekanan ekonomi bisa memperbesar konflik keluarga, terutama jika pengeluaran tak sebanding dengan pendapatan. Dalam kondisi seperti ini, perempuan kerap menjadi sasaran kemarahan atau kekerasan, baik verbal maupun fisik.

Sementara itu, sistem bantuan sosial yang seharusnya menjadi tameng krisis belum sepenuhnya menjangkau perempuan miskin. Pendataan yang tidak sensitif gender dan distribusi yang terpusat di kota membuat banyak keluarga di desa dan pulau-pulau terluar tak terjangkau program pangan murah atau bantuan langsung.
Ironisnya, sebagian besar tenaga petani padi di Sulut juga melibatkan perempuan. Namun, mereka tidak mendapat perlindungan harga dan subsidi pupuk yang cukup. Banyak petani kecil justru meninggalkan sawah dan beralih menanam komoditas seperti nilam karena dianggap lebih menguntungkan. Ini memperburuk pasokan dan menambah tekanan harga.
Kebijakan publik selama ini seringkali netral gender, mengasumsikan bahwa dampak krisis dirasakan sama oleh semua orang. Padahal, perempuan dan anak memiliki kebutuhan spesifik yang tak bisa diabaikan. Misalnya, kebutuhan gizi ibu hamil, makanan tambahan untuk balita, dan akses mudah ke pasar murah.
Pemerintah provinsi dan kabupaten perlu merancang intervensi yang lebih tepat sasaran. Program pangan murah sebaiknya ditempatkan di lokasi strategis seperti posyandu, pasar tradisional, atau kelurahan yang memiliki banyak keluarga prasejahtera. Pendistribusian bisa melibatkan kelompok perempuan, seperti PKK atau kelompok tani wanita.
Langkah jangka menengah juga harus melibatkan penguatan peran perempuan dalam sistem pangan lokal. Ini bisa melalui pelatihan pertanian organik pekarangan, pembentukan koperasi pangan berbasis komunitas, hingga pemberdayaan perempuan sebagai agen distribusi beras bersubsidi di desa mereka.
Selain itu, pemerintah bisa memberikan insentif kepada petani perempuan agar tetap menanam padi, bukan beralih ke tanaman industri. Harga jual gabah yang stabil dan pembebasan biaya sewa lahan atau irigasi bisa mendorong produksi lokal kembali meningkat.
Lebih dari itu, krisis ini menjadi momentum untuk mereformasi sistem pangan daerah secara inklusif. Ketahanan pangan tak bisa hanya dilihat dari stok gudang, tapi dari kenyataan di meja makan rumah tangga miskin. Jika perempuan tidak mampu menyediakan makanan bergizi untuk anak-anak mereka, maka Sulut tengah berjalan mundur.

Perempuan dan anak-anak harus menjadi pusat perhatian dalam kebijakan pangan. Karena merekalah yang pertama merasakan krisis, dan merekalah yang akan membawa warisan krisis itu jika tak segera ditangani. Menjamin mereka kenyang, sehat, dan aman, adalah bentuk pembangunan paling dasar dan paling manusiawi.
Berikut adalah rekomendasi kebijakan pro perempuan dan anak terkait krisis harga beras di Sulawesi Utara:
1. Distribusi Pangan Berbasis Rumah Tangga Perempuan
Prioritaskan distribusi beras murah ke rumah tangga dengan ibu hamil, menyusui, dan anak-anak. Pendataan penerima sebaiknya melibatkan kader perempuan lokal agar lebih akurat.
2. Pemberdayaan Perempuan dalam Rantai Pasok
Libatkan kelompok tani perempuan dan UMKM perempuan dalam penyimpanan, distribusi, hingga pengawasan harga beras agar ada kontrol langsung dari masyarakat.
3. Subsidi dan Insentif untuk Petani Perempuan
Berikan subsidi pupuk, benih, serta jaminan harga gabah bagi petani perempuan agar tetap menanam padi, bukan berpindah ke tanaman industri.
4. Peningkatan Akses Pangan Bergizi
Sediakan program makanan tambahan bagi anak dan ibu hamil di wilayah rawan pangan melalui posyandu atau dapur komunitas.
5. Operasi Pasar Inklusif Gender
Gelar operasi pasar murah di lokasi strategis yang mudah diakses perempuan, seperti pasar tradisional dan kelurahan, serta jam operasional yang ramah ibu rumah tangga.
6. Integrasi Bantuan Pangan dan Gizi Anak dalam Dana Desa
Dorong pemanfaatan dana desa untuk mendukung keluarga rentan melalui bantuan beras, sayuran, dan makanan tambahan berbasis pangan lokal.
7. Perlindungan Sosial Adaptif Krisis
Buat skema bantuan darurat saat harga pangan melonjak, dengan skema khusus untuk rumah tangga yang dikepalai perempuan.
8. Pelatihan Diversifikasi Pangan Lokal
Berikan pelatihan kepada perempuan mengenai pengolahan pangan alternatif bergizi dari sumber lokal (seperti jagung, ubi, sagu) untuk substitusi beras.
9. Peningkatan Literasi Gizi dan Keuangan
Sediakan edukasi di tingkat keluarga tentang pentingnya kecukupan gizi dan pengelolaan keuangan rumah tangga di masa krisis.
10. Pemantauan dan Advokasi dari Organisasi Perempuan
Libatkan organisasi perempuan dan LSM lokal untuk melakukan advokasi, pengawasan distribusi bantuan, dan menjadi penghubung antara warga dan pemerintah.
Kenaikan harga beras di Sulawesi Utara bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi krisis kemanusiaan yang paling dirasakan oleh perempuan dan anak-anak. Saat dapur semakin sunyi dan gizi anak dipertaruhkan, kebijakan yang responsif gender dan berpihak pada kelompok rentan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Memastikan akses pangan yang adil bagi perempuan dan anak bukan hanya soal mengisi perut, tapi tentang menjaga masa depan generasi Sulut agar tetap tumbuh sehat, cerdas, dan bermartabat.