Trauma Perempuan Penyintas Gunung Api Ruang Masih Membekas

Marlina Mahagia, (Foto: Sajidin Kandoli).

TENTANGPUAN.com – Di balik deretan angka pengungsi dan kerusakan akibat erupsi Gunung Api Ruang di Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, ada luka yang tak mudah sembuh,terutama bagi perempuan penyintas.

Mereka tak hanya kehilangan rumah, tetapi juga kestabilan emosi, rasa aman, dan masa depan yang semula sudah mereka tata dengan susah payah.

Marlina Mahagia (56), warga Desa Pumpente, Kecamatan Tagulandang, masih bergulat dengan ingatan akan malam paling kelam dalam hidupnya.

Kini, di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Sagerat, Bitung, tempat ia mengungsi bersama ratusan penyintas lain, Marlina hidup dengan trauma yang masih lekat.

“Letusan pertama itu, kami lari sudah tak tahu arah. Kami lari bersama keluarga. Saat itu saya lebih fokus menyelamatkan satu orang keluarga saya yang cacat, dia tak bisa berjalan,” ungkap Marlina, Senin, (26/5/2025).

Dalam suasana gelap dan penuh kepanikan, ia bahkan sempat tercebur ke laut ketika mencoba naik ke kapal penyelamat.

“Saat naik ke atas kapal, saya terjatuh ke laut karena berdesakan dengan orang lain yang juga ingin naik ke kapal,” ujarnya.

Kini, Marlina hanya bisa mengenang rumahnya melalui ingatan. Dua minggu setelah letusan, ketika diizinkan kembali ke desa, yang ia temukan hanyalah puing dan debu.

“Letusan pertama sampai ketiga kami masih dalam pelarian. Setelah dinyatakan aman dalam waktu dua minggu pasca letusan, kami diizinkan pergi melihat apa yang tersisa di kampung,” katanya.

“Sesampainya di sana, kami tak bisa lagi melihat apa pun. Entah dicari, digali di mana. Ternyata kami tiba di sana berjalan di atas atap rumah. Yang tersisa hanya pakaian di badan kami,” tuturnya dengan suara tersedak.

Heni Burila (51), warga Desa Laingpatehi, menyampaikan cerita serupa. Meski ia dan keluarganya telah mengungsi saat letusan ketiga terjadi, kondisi rumahnya tetap porak-poranda.

“Nanti letusan ketiga, kami sudah ada di tempat pengungsian,” ujarnya.

“Sudah tak dapat dilukiskan lagi, Pak. Mungkin hanya air mata yang bisa menjelaskan. Semuanya habis, rata. Sudah tidak ada apa-apa lagi,” kata Heni dengan suara nyaris pecah.

Kini, Marlina, Heni, dan banyak perempuan lainnya berada dalam situasi menggantung. Hidup di pengungsian dengan fasilitas terbatas, mereka menghadapi hari-hari penuh ketidakpastian.

Rasa trauma, kelelahan emosional, dan kehilangan identitas sebagai ibu rumah tangga, pengasuh, dan penjaga keluarga, menjadi luka tak kasatmata yang belum sepenuhnya tertangani.

Di tengah deretan bantuan logistik dan catatan administratif bencana, suara dan kebutuhan perempuan penyintas kerap luput dari perhatian.

Padahal, mereka memerlukan lebih dari sekadar tenda dan makanan—mereka butuh ruang pemulihan psikologis, perlindungan sosial, dan kehadiran negara yang benar-benar memahami luka terdalam yang mereka alami.


Peliput: Sajidin Kandoli