Perempuan Petani di Tengah Anomali Iklim Kemarau Basah

/
Ilustrasi perempuan petani saat kemarau basah. (Foto: Generate ai).

TENTANGPUAN.com – Kemarau biasanya menjadi masa di mana para petani bersiap menghadapi kekeringan dan menyesuaikan pola tanam. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pola musim bergeser drastis.

Fenomena yang dikenal sebagai kemarau basah–kemarau yang diwarnai dengan curah hujan tinggi–mengacaukan prediksi iklim, merusak jadwal tanam, dan memperburuk kerentanan petani.

Dalam kondisi ini, perempuan petani menjadi kelompok yang paling terdampak namun paling sering diabaikan.

Perempuan dan Perubahan Pola Musim

Di banyak daerah di Indonesia, perempuan memainkan peran vital dalam pertanian. Mulai dari proses persemaian, pemeliharaan tanaman, hingga panen dan pengolahan pascapanen perempuan kerap terlibat langsung. Namun, perubahan musim seperti kemarau basah telah merusak ritme kerja mereka.

“Biasanya kami tanam jagung bulan Mei. Tapi tahun lalu dan sekarang, bulan itu masih hujan. Banyak yang busuk sebelum tumbuh,” kata Jauriah (42), seorang petani perempuan dari Desa Lolayan, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.

Data dan Realita Lapangan

Laporan BMKG tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 35% wilayah Indonesia mengalami anomali kemarau basah, termasuk Sulawesi Utara dan beberapa wilayah Jawa dan Sumatera.

Curah hujan yang tidak terduga ini menyebabkan kegagalan panen di banyak tempat.

Sementara itu, riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2022 menunjukkan bahwa perempuan petani lebih terdampak dalam kondisi iklim tak menentu karena akses mereka terhadap informasi cuaca, bantuan pertanian, dan pengambilan keputusan masih rendah dibanding laki-laki.

Kemarau basah juga memperberat beban perempuan yang tak hanya menjadi penanggung jawab sektor pangan rumah tangga, tetapi juga mengurus keluarga.

Ketika tanaman gagal panen, beban ekonomi rumah tangga bertumpu pada mereka untuk tetap menyediakan makanan.

Selain itu, mereka harus menanggung beban kerja tambahan seperti mengeringkan hasil panen secara manual atau memindahkan hasil tani ke tempat yang lebih aman dari genangan air.

Semua ini dilakukan tanpa tambahan alat atau dukungan teknis.

“Karena banyak yang busuk, kami harus pilah satu-satu. Keringkan di lantai rumah, di loteng. Capek, tapi siapa lagi yang mau urus,” ujar Maryati (38), petani perempuan dari Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.

Apa yang Perlu Dilakukan?

Fenomena kemarau basah bukan hanya soal cuaca ekstrem, tapi juga ketimpangan dalam respons.

Pemerintah dan lembaga terkait perlu membangun sistem informasi cuaca yang inklusif gender, memastikan perempuan petani mendapat pelatihan adaptasi perubahan iklim, serta mendesain bantuan yang mempertimbangkan kebutuhan spesifik mereka.

Laporan IPCC 2021 juga menekankan pentingnya melibatkan kelompok rentan, termasuk perempuan, dalam strategi adaptasi iklim di tingkat lokal.

Kemarau basah telah mengubah cara kita memandang musim. Namun lebih dari itu, fenomena ini menyingkap realitas ketimpangan dalam sistem pertanian kita,di mana perempuan petani berada di garis depan krisis, namun masih tertinggal dalam kebijakan.

Menyuarakan pengalaman mereka bukan sekadar soal keadilan iklim, tapi juga kunci membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.