TENTANGPUAN.com – Tindakan kekerasan terhadap perempuan kembali merenggut nyawa. Seorang perempuan muda, SP alias Sri (29), kehilangan hidupnya di tangan orang yang seharusnya menjadi pelindung—suaminya sendiri, DM alias Dodi (26), dalam peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di Kelurahan Motoboi Kecil, Kota Kotamobagu.
Sri, seorang pekerja yang berasal dari Desa Abak, Kecamatan Lolayan, meregang nyawa akibat luka tikaman senjata tajam jenis pisau badik yang dibawa pelaku ke tempat kerja korban, dini hari, Minggu (11/5).
Peristiwa itu bukan sekadar tindak kriminal, tapi juga bentuk nyata femisida—pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya—yang masih kerap tersembunyi di balik narasi “cemburu” atau “masalah rumah tangga.”
Menurut keterangan saksi, pelaku datang ke lokasi kerja korban dengan senjata terselip di pinggang.
Pertengkaran terjadi, lalu pelaku memukul korban. Saat Sri mencoba menyelamatkan diri ke arah dapur, pelaku justru menikamnya dari belakang, mengenai punggung dan tangan. Sri meninggal di tempat kejadian karena kehabisan darah.
Tindakan brutal ini menegaskan betapa rentannya perempuan terhadap kekerasan, bahkan di ruang personal dan domestik yang seharusnya aman.
Sri bukan sekadar korban KDRT; ia adalah simbol dari banyak perempuan lain yang mengalami kekerasan dan tak sempat diselamatkan.
Pelaku ditangkap tak lama setelah kejadian oleh Tim Resmob Polres Kotamobagu di Desa Bai, Kecamatan Nuangan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Barang bukti pisau badik turut diamankan.
Kapolres Kotamobagu, AKBP Irwanto, SIK, MH melalui Kasi Humas AKP I Dewa Dwiadnyana mengonfirmasi peristiwa penikaman tersebut.
“Dugaan awal motif tersangka menikam korban karena cemburu dan adanya permasalahan dalam rumah tangga,” ujar AKP I Dewa.
Namun, bagi banyak perempuan dan pegiat hak perempuan, narasi semacam ini sering kali mengecilkan kekerasan sistemik yang dihadapi korban.
Perempuan tidak dibunuh karena “cemburu”, melainkan karena sistem yang membiarkan kekerasan rumah tangga tetap berlangsung tanpa perlindungan cukup bagi korban.
Tragedi ini menjadi alarm keras bagi seluruh elemen masyarakat dan pemangku kebijakan: kekerasan terhadap perempuan adalah masalah serius dan perlu ditangani dengan pendekatan berbasis perlindungan korban, bukan sekadar penegakan hukum terhadap pelaku.